Minggu, 14 September 2008

Urgensi Pembatasan Kampanye di Televisi*)

Maraknya iklan personifikasi beberapa sosok pada sejumlah media televisi dan cetak tampaknya sudah mulai membuat gerah para elit politik. Kecemasan akan keperkasaan media massa turut mewarnai perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilihan Presiden. Tak dipungkiri, pers dan kekuasaan selalu bersinggungan erat. Netralitas media massa juga kerap mengalami bias kala bersentuhan dengan pemilik modal. Namun apakah itu dapat dijadikan alasan bagi legislatif untuk membelenggu pers dengan alasan mengatur netralitas media dalam kampanye pemilu ?

Sebagai sebuah industri yang padat modal, media massa memandang pemilu, pilpres dan pilkada merupakan ladang iklan baru yang sangat menjanjikan. Persaingan dalam industri media massa yang demikian ketat, membuat industri media massa amat tergantung pada dominasi sejumlah kelompok pemilik modal dalam menentukan kebijakan pemberitaan serta proses produksi siaran lainnya. Kondisi itu jelas terungkap pada sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan Ishadi SK terhadap tiga stasiun televisi yang berhasil mengungkapkan terjadinya praktek-praktek diskursus di ruang pemberitaan RCTI, SCTV dan Indosiar menjelang berakhirnya pemerintahan Suharto bulan Mei 1998.

Sejumlah studi lain juga mengungkapkan kenyataan bahwa regulasi industri media massa sepenuhnya tergantung pada “the invisible hand” (tangan tak terlihat) membuat mekanisme pasar dalam industri media massa tidak selalu identik dengan kebebasan pers atau kebebasan publik untuk mengemukakan pendapat untuk memperoleh akses ke media atau memperoleh keragaman opini, versi dan perspektif pemberitaan. Tekanan pasar dalam industri media massa ternyata tidak hanya berupa pemenuhan selera publik tetapi juga kepentingan pemasang iklan serta kepentingan-kepentingan pemilik modal yang secara sistematis berpotensi mempengaruhi kualitas kebebasan pers di tanah air (Hidayat, 2000 : 452).

Di lain sisi, studi-studi tentang media massa seperti konsep teori peluru (bullet theory) atau model jarum hipodermik yang menganalogikan pesan pesan-pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan lewat jarum di bawah kulit – bahwa pesan-pesan yang disampaikan media massa mempunyai pengaruh yang sangat signifikan bagi khalayaknya menunjukkan betapa perkasanya media massa. Studi lain yang diungkapkan Klapper ( 1960) dalam J.Severlin dan W Tankard (1979) dalam bukunya yang berjudul "The Effect of Mass Communication" juga mengungkapkan keperkasaan media massa, dan khalayak dianggap pasif dan tidak berdaya. Kondisi itu yang membuat media massa dijadikan saluran utama untuk menyalurkan pesan-pesan politik guna mempengaruhi opini publik seperti yang diungkapkan Paul Johnson dalam "The Media Truth: Is There a moral duty" (1998). Studi lain tentang Ketergantungan Masyarakat Kota Medan Terhadap Berita Kampanye calon Presiden di Surat Kabar dan Televisi oleh Syafarudin (2004) menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemberitaan di surat kabar dan televisi dalam menentukan pilihannya dalam pemilu presiden, padahal semakin besar ketergantungan khalayak, maka akan semakin besar pula efek media massa yang dimunculkan baik dalam tataran afektif, kognitif maupun behavioural.

Kenyataan akan keperkasaan media itu membuat usulan sejumlah fraksi di DPR seperti Partai Amanat Nasional (PAN) meminta agar Undang-Undang Pemilihan Presiden 2009 (UU Pilpres) membatasi iklan kampanye dapat dipahami. Bahkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah pada Pasal 56, Fraksi PAN mengusulkan tambahan ayat yang mengatur pembatasan iklan itu secara detail yaitu batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye, kedua batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa kampanye untuk semua jenis iklan. Alasannya, menurut Anggota Pansus RUU Pilpres, Andi Yuliani Paris hal itu dimaksudkan agar potensi kemenangan tidak hanya berada pada calon yang punya dana besar. Sehingga diharapkan pilpres nantinya akan berlangsung lebih fair dan agar capres/cawapres yang terpilih pada pilpres mendatang benar-benar memiliki visi dan misi yang baik, bukan sekedar karena menang membentuk opini di publik melalui 'bom' iklan di media cetak dan elektronik.

Namun keberatan sejumlah kalangan terhadap pembatasan kampanye tersebut dan meminta agar pengaturan tentang netralitas media massa dalam pemilu dan pilpres dikembalikan kepada UU Pers dan UU Penyiaran serta adanya aspirasi yang menghendaki agar Undang-undang Pilpres lebih memberikan kelonggaran kepada para capres untuk mengekspresikan diri patut dicermati untuk menemukan titik kesimbangan yang paling menguntungkan bagi masyarakat agar dapat netral dalam menentukan pilihannya dan terbebas dari pengaruh siapa dan apapun termasuk pengaruh media massa. Karenanya, semua pihak diharapkan dapat menimbang secara lebih bijak berbagai alasan secara rasional dalam kerangka kebangsaan tidak sekedar memperjuangkan kepentingan bakal calon yang akan diusung partainya. Agar pada pilpres mendatang masyarakat memilih figur berdasarkan keyakinan mereka akan visi dan misi yang diusung bakal calon bukan karena terhipnotis keelokan personifikasi sosok sebagaimana kerap ditampilkan dalam iklan di media massa. Sehingga pada Pemilu 2009 mendatang presiden dan wakil presiden yang terpilih bukan karena kepiawaian Tim Media mereka dalam mengolah pesan-pesan yang mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat melalui penayangan-penayang iklan yang begitu memikat dan jargon-jargon yang begitu menyejukan, melainkan karena mereka benar-benar merupakan presiden pilihan rakyat. Sebab realitas yang terima masyarakat tentang sosok calon presiden dan calon wakil presiden dari media massa merupakan realitas sesungguhnya bukan merupakan realitas yang dibangun oleh media massa, karena media massa “terpaksa” mengikuti aturan main yang mewajibkan mereka untuk menayangkan iklan dan memberitakan para calon secara berimbang.

*Artikel ini merupakan opini pribadi

Tidak ada komentar: