Kamis, 12 Juli 2012

Felix Y. Siauw, Curahan Hati Seorang Keturunan Cina Muslim di Indonesia

 
Jul 30, 2011  

Nama saya Felix Y. Siauw, kelahiran Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam jangka waktu yang lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak sekali kesulitan dan kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling bahagia bagi saya, yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengganti keyakinan dengan mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya Tuhan dan sesembahan. Tahun 2006 ketika saya menikahi seorang muslimah yang kelak memberikan saya 2 momen bahagia lagi; kelahiran Alila Shaffiya asy-Syarifah pada tahun 2008 dan Shifr Muhammad al-Fatih 1453 pada tahun 2010.
Dari nama yang saya publish, sebagian besar pasti memahami bahwasanya saya tergolong etnis Cina. Dan inilah salahsatu sebab kenapa saya menulis tulisan ini, disamping alasan utamanya adalah karena kewajiban mendakwahkan Islam dan pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia. Ini adalah sebuah curahan hati dan aduan serta penjelasan dari seorang Ayah, Muslim-“Cina”. Walaupun banyak kasus lain yang saya alami berkaitan dengan ide bid’ah nasionalisme yang diwariskan Belanda dan Barat, saya akan sedikit memfokuskan pada satu kisah yang baru saja saya alami. Berawal ketika Istri saya yang melahirkan anak keduanya di RS. Budi Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah itu seperti biasa, atas nama pribadi ada beberapa karyawan yang menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran putra saya. Dan kami pun menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan harga Rp. 100.000. Tak berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik saya, lalu dia bertanya pada istri: “Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?” “Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai, 

“Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..” “Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya tetap berusaha santai “Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000” Setelah memberitahu saya perihal percakapan ini, dengan agak kesal saya pun mencoba membuktikan perkataan istri saya tadi. Ternyata benar, ada diskriminasi kepengurusan akte kelahiran, dan dokumen yang diperlukan pun lebih daripada yang biasanya. Walau saya desak dengan berbagai dalil, termasuk dengan dalil bahwa penghapusan istilah WNI Keturunan sudah dilakukan, tetap saja tidak ada penjelasan yang memadai kepada saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya memutuskan untuk mengurus sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan masalah uang, ini masalah ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang toleransi. Langkah pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ; http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/produk-a-layanan/akta-kelahiran, dan disitu saya mendapatkan informasi bahwa pembuatan akte kelahiran biayanya gratis s/d Rp. 5000. Dan syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK, KTP Orangtua, dan Surat Pengantar RT/RW yang dilegalkan Kelurahan. Ternyata setelah saya datang pada hari Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah meminta akte kelahiran untuk dikonfirmasi apakah saya warga keturunan atau bukan. Dan sekali lagi saya katakan bahwa urusan keturunan sudah tidak ada, semua yang dilahirkan di tanah Indonesia adalah WNI. Dan setelah itu akhirnya saya tetap diminta membayar Rp. 70.000, sebelum membayar saya menanyakan bukti pembayarannya, sedikit gagap petugas menyatakan bahwa lembar bukti penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi bukti pembayaran (nanti coba kita liat ya). 

Dan yang paling menyakitkan, ditulis lagi dalam keterangan permintaan akte kelahiran bahwa anak saya termasuk Stbld. 1917. Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih berlaku tuh stbld?” “Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu” “Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan. Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita masuk ke pokok pembahasan. 1. Inilah budaya pegawai negeri Indonesia yang jauh dari kesan profesional dan korup, birokrasi yang terbiasa tidak jujur dan selalu mencari kesempatan atas minimnya data yang mereka beri kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Sehingga seolah-olah masyarakat yang harus membayar mereka karena pelayanan itu, padahal pelayanan mereka sudah dibayar oleh negara. Sampai setelah saya membayar Rp. 70.000 itu, saya tidak mengetahui kemana uang ini dialokasikan, dan parahnya yang menerima uang ini adalah muslim. Saya terima kalau yang melakukan korupsi ini bila bukan muslim, tapi pelakunya sekali lagi adalah muslim, yang seharusnya menjadi pekerja yang paling jujur karena aqidahnya memerintahkan begitu 2.
Budaya rasialis dan nasionalisme kampungan rupanya masih menjadi mental ummat Islam saat ini. Mereka membedakan antara pribumi dan keturunan. Tanpa mereka ketahui bahwa cara ini adalah strategi utama belanda dalam melakukan politik divide et impera dan menghancurkan sendi ekonomi dan masyarakat. Politik rasialis ini dimulai ketika VOC dan Pemerintah Belanda membagi kelompok masyarakat menjadi Inlander (pribumi) dan Vreemde Oosterlinge (Orang Timur Asing, termasuk Cina, Arab dan India)(lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/3523), lalu memberikan akses ekonomi kepada Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina sehingga pecahlah permusuhan dan kebencian antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge (lihat Buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara). Politik rasialis ini bahkan dimulai semenjak awal pencatatan akta kelahiran dengan membedakan antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge, antara agama penjajah Belanda Kristen dan Katolik serta Islam. Lihat saja akte kelahiran Anda yang muslim pribumi akan mendapatkan kode Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani pribumi mendapatkan kode Stbld. 1933, warga keturunan dari timur (Cina, Arab, India, dan lainnya) dengan Stbld. 1917 (lihat http://www.jasaumum.com/akteKelahiran.htm). 

Akta kelahiran inilah yang menjadi dasar dalam perbedaan perilaku penjajah Belanda dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan status sosial. Sayangnya (baca: bodohnya), pemerintah Indonesia justru mengadopsi Stbld. (Staatsblad, artinya Peraturan Pemerintah Belanda) menjadi aturan dalam pencatatan kelahiran yang otomatis dari awal sudah membedakan membuat rasial penduduknya berdasarkan cara penjajah Belanda membedakannya. Jadi ketahuan sekali bahwa negara kita secara hukum dan ekonomi masih terjajah dan samasekali belum merdeka. Nah, wajar kan kalau kita liat konflik horizontal maupun vertikal atas nama etnis masih terjadi di negeri ini? karena memang dari awal pemerintah Indonesia sudah meniatkannya. Membebek penjajah Belanda. Dan hampir sebagian besar hukum kita adalah adopsi Belanda. Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?! Inilah ikatan-ikatan yang merusak dan terbukti menimbulkan perpecahan dan konflik yang tak berkesudahan. Ikatan yang muncul dari pemikiran yang dangkal dan sempit. Ikatan etnisitas, kekauman dan juga termasuk ikatan nasionalisme kampungan. Ikatan inilah yang menyebabkan muslim Indonesia tidak memperdulikan muslim Palestina hanya karena dibatasi oleh garis-garis khayal batas negara. Ikatan ini juga yang memenangkan penjajah Belanda ketika membelah ummat Islam Indonesia atas nama etnis. Dan ikatan ini pula yang menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki, Mesir, Irak, Iran dan semua negara muslim saat ini terpecah belah padahal dahulunya mereka adalah satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang harus dimusnahkan: fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita kenal dengan kata ashabiyah. Padahal Rasulullah dengan sangat jelas telah mewanti-wanti agar kita jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu yang tidak pernah dipilih manusia atau bagian dari qadar Allah.

 إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسامكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وإلى أعمالكم Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah kalian dan tidak pula kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurrairah) Maka benarlah dalam aturan kewarganegaraan Daulah Madinah ketika Rasulullah saw. menjadi kepala negara, beliau saw. hanya membedakan 2 jenis penduduk; muslim dan kafir. Begitu pula yang dilaksanakan Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan Khalifah-khalifah setelah mereka sampai runtuhnya Daulah Khilafah Islam Utsmaniyah tahun 1924. Artinya pembedaan kewarganegraan adalah berdasarkan pengakuannya atas Islam, bukan yang lain seperti fanatisme golongan atau bangsa. Juga larangan sempurna dari Rasulullah atas sikap fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang dirangkum dalam larangan ashabiyah 

ومن قاتل تحت راية عمّيّة يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة، فقتل، فقتلة جاهليّة Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah kerena suku, atau menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia terbunuh secara jahiliyah (HR Muslim) 

ليس منا من دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud) Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’ashub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan Islam menaruh ikatan semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena pemikiran semacam ini adalah batil. Tapi inilah kondisi masyarakat dan ummat, mereka mempunyai cap tertentu bagi etnis tertentu, dan akhirnya bukan melihat karena ketakwaannya tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya karena seseorang berwajah Arab lantas setiap bertemu tangannya dicium, karena persangkaan bahwa arab identik dengan Islam (ironis). Hanya karena seseorang berwajah Cina lantas diidentikkan dengan kafir? (lebih ironis), lebih aneh lagi kalau ketemu bule semuanya serba senang, sumringah dan berjalan menunduk (kacau). Inilah mental-mental terjajah, mental yang sangat ridha dan bangga kepada negara yang menjajahnya tapi lupa sama sekali dengan Tuhan yang menciptakan dirinya dan memberinya kenikmatan. Padahal kita semua sebagai muslim tidak diseru kecuali berpegang pada aqidah yang satu, ikatan yang satu, perintah yang satu dan kepemimpinan yang satu. Tauhid dalam segala bidang.

 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS ali Imraan [3]: 103) Seandainya saja Rasulullah masih ada, maka tentu dia akan menghapuskan segala macam diskriminasi dan rasialisme yang diwariskan dunia Barat kepada kaum muslim. Seandainya saja Umar bin Khattab masih ada, maka pastilah beliau sendiri yang akan menghunus pedangnya untuk memenggal penyeru ashabiyah. Tapi mereka telah tiada, namun bukan tanpa warisan. Rasulullah menyiapkan sebuah sistem buat ummatnya agar ummatnya dapat bersatu padu dan kuat dalam satu kepemimpinan di seluruh dunia. Insya Allah saat Khilafah Islam tegak satu saat nanti, Khalifah lah yang akan mengomando kaum muslim membunuh ashabiyah.
Nama saya Felix Y. Siauw, kelahiran Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam jangka waktu yang lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak sekali kesulitan dan kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling bahagia bagi saya, yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengganti keyakinan dengan mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya Tuhan dan sesembahan. Tahun 2006 ketika saya menikahi seorang muslimah yang kelak memberikan saya 2 momen bahagia lagi; kelahiran Alila Shaffiya asy-Syarifah pada tahun 2008 dan Shifr Muhammad al-Fatih 1453 pada tahun 2010. Felix Y. Siauw curahan hati seorang warga keturunan Tionghoa Muslim di Indonesia Felix Y. Siauw curahan hati seorang warga keturunan Tionghoa Muslim di Indonesia Dari nama yang saya publish, sebagian besar pasti memahami bahwasanya saya tergolong etnis Cina. Dan inilah salahsatu sebab kenapa saya menulis tulisan ini, disamping alasan utamanya adalah karena kewajiban mendakwahkan Islam dan pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia. Ini adalah sebuah curahan hati dan aduan serta penjelasan dari seorang Ayah, Muslim-“Cina”. Walaupun banyak kasus lain yang saya alami berkaitan dengan ide bid’ah nasionalisme yang diwariskan Belanda dan Barat, saya akan sedikit memfokuskan pada satu kisah yang baru saja saya alami. Berawal ketika Istri saya yang melahirkan anak keduanya di RS. Budi Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah itu seperti biasa, atas nama pribadi ada beberapa karyawan yang menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran putra saya. Dan kami pun menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan harga Rp. 100.000. Tak berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik saya, lalu dia bertanya pada istri: “Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?” “Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai, “Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..” “Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya tetap berusaha santai “Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000” Setelah memberitahu saya perihal percakapan ini, dengan agak kesal saya pun mencoba membuktikan perkataan istri saya tadi. Ternyata benar, ada diskriminasi kepengurusan akte kelahiran, dan dokumen yang diperlukan pun lebih daripada yang biasanya. Walau saya desak dengan berbagai dalil, termasuk dengan dalil bahwa penghapusan istilah WNI Keturunan sudah dilakukan, tetap saja tidak ada penjelasan yang memadai kepada saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya memutuskan untuk mengurus sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan masalah uang, ini masalah ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang toleransi. Langkah pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ; http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/produk-a-layanan/akta-kelahiran, dan disitu saya mendapatkan informasi bahwa pembuatan akte kelahiran biayanya gratis s/d Rp. 5000. Dan syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK, KTP Orangtua, dan Surat Pengantar RT/RW yang dilegalkan Kelurahan. Ternyata setelah saya datang pada hari Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah meminta akte kelahiran untuk dikonfirmasi apakah saya warga keturunan atau bukan. Dan sekali lagi saya katakan bahwa urusan keturunan sudah tidak ada, semua yang dilahirkan di tanah Indonesia adalah WNI. Dan setelah itu akhirnya saya tetap diminta membayar Rp. 70.000, sebelum membayar saya menanyakan bukti pembayarannya, sedikit gagap petugas menyatakan bahwa lembar bukti penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi bukti pembayaran (nanti coba kita liat ya). Dan yang paling menyakitkan, ditulis lagi dalam keterangan permintaan akte kelahiran bahwa anak saya termasuk Stbld. 1917. Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih berlaku tuh stbld?” “Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu” “Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan. Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita masuk ke pokok pembahasan. 1. Inilah budaya pegawai negeri Indonesia yang jauh dari kesan profesional dan korup, birokrasi yang terbiasa tidak jujur dan selalu mencari kesempatan atas minimnya data yang mereka beri kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Sehingga seolah-olah masyarakat yang harus membayar mereka karena pelayanan itu, padahal pelayanan mereka sudah dibayar oleh negara. Sampai setelah saya membayar Rp. 70.000 itu, saya tidak mengetahui kemana uang ini dialokasikan, dan parahnya yang menerima uang ini adalah muslim. Saya terima kalau yang melakukan korupsi ini bila bukan muslim, tapi pelakunya sekali lagi adalah muslim, yang seharusnya menjadi pekerja yang paling jujur karena aqidahnya memerintahkan begitu 2. Budaya rasialis dan nasionalisme kampungan rupanya masih menjadi mental ummat Islam saat ini. Mereka membedakan antara pribumi dan keturunan. Tanpa mereka ketahui bahwa cara ini adalah strategi utama belanda dalam melakukan politik divide et impera dan menghancurkan sendi ekonomi dan masyarakat. Politik rasialis ini dimulai ketika VOC dan Pemerintah Belanda membagi kelompok masyarakat menjadi Inlander (pribumi) dan Vreemde Oosterlinge (Orang Timur Asing, termasuk Cina, Arab dan India)(lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/3523), lalu memberikan akses ekonomi kepada Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina sehingga pecahlah permusuhan dan kebencian antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge (lihat Buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara). Politik rasialis ini bahkan dimulai semenjak awal pencatatan akta kelahiran dengan membedakan antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge, antara agama penjajah Belanda Kristen dan Katolik serta Islam. Lihat saja akte kelahiran Anda yang muslim pribumi akan mendapatkan kode Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani pribumi mendapatkan kode Stbld. 1933, warga keturunan dari timur (Cina, Arab, India, dan lainnya) dengan Stbld. 1917 (lihat http://www.jasaumum.com/akteKelahiran.htm). Akta kelahiran inilah yang menjadi dasar dalam perbedaan perilaku penjajah Belanda dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan status sosial. Sayangnya (baca: bodohnya), pemerintah Indonesia justru mengadopsi Stbld. (Staatsblad, artinya Peraturan Pemerintah Belanda) menjadi aturan dalam pencatatan kelahiran yang otomatis dari awal sudah membedakan membuat rasial penduduknya berdasarkan cara penjajah Belanda membedakannya. Jadi ketahuan sekali bahwa negara kita secara hukum dan ekonomi masih terjajah dan samasekali belum merdeka. Nah, wajar kan kalau kita liat konflik horizontal maupun vertikal atas nama etnis masih terjadi di negeri ini? karena memang dari awal pemerintah Indonesia sudah meniatkannya. Membebek penjajah Belanda. Dan hampir sebagian besar hukum kita adalah adopsi Belanda. Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?! Inilah ikatan-ikatan yang merusak dan terbukti menimbulkan perpecahan dan konflik yang tak berkesudahan. Ikatan yang muncul dari pemikiran yang dangkal dan sempit. Ikatan etnisitas, kekauman dan juga termasuk ikatan nasionalisme kampungan. Ikatan inilah yang menyebabkan muslim Indonesia tidak memperdulikan muslim Palestina hanya karena dibatasi oleh garis-garis khayal batas negara. Ikatan ini juga yang memenangkan penjajah Belanda ketika membelah ummat Islam Indonesia atas nama etnis. Dan ikatan ini pula yang menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki, Mesir, Irak, Iran dan semua negara muslim saat ini terpecah belah padahal dahulunya mereka adalah satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang harus dimusnahkan: fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita kenal dengan kata ashabiyah. Padahal Rasulullah dengan sangat jelas telah mewanti-wanti agar kita jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu yang tidak pernah dipilih manusia atau bagian dari qadar Allah. إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسامكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وإلى أعمالكم Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah kalian dan tidak pula kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurrairah) Maka benarlah dalam aturan kewarganegaraan Daulah Madinah ketika Rasulullah saw. menjadi kepala negara, beliau saw. hanya membedakan 2 jenis penduduk; muslim dan kafir. Begitu pula yang dilaksanakan Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan Khalifah-khalifah setelah mereka sampai runtuhnya Daulah Khilafah Islam Utsmaniyah tahun 1924. Artinya pembedaan kewarganegraan adalah berdasarkan pengakuannya atas Islam, bukan yang lain seperti fanatisme golongan atau bangsa. Juga larangan sempurna dari Rasulullah atas sikap fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang dirangkum dalam larangan ashabiyah ومن قاتل تحت راية عمّيّة يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة، فقتل، فقتلة جاهليّة Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah kerena suku, atau menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia terbunuh secara jahiliyah (HR Muslim) ليس منا من دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud) Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’ashub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan Islam menaruh ikatan semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena pemikiran semacam ini adalah batil. Tapi inilah kondisi masyarakat dan ummat, mereka mempunyai cap tertentu bagi etnis tertentu, dan akhirnya bukan melihat karena ketakwaannya tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya karena seseorang berwajah Arab lantas setiap bertemu tangannya dicium, karena persangkaan bahwa arab identik dengan Islam (ironis). Hanya karena seseorang berwajah Cina lantas diidentikkan dengan kafir? (lebih ironis), lebih aneh lagi kalau ketemu bule semuanya serba senang, sumringah dan berjalan menunduk (kacau). Inilah mental-mental terjajah, mental yang sangat ridha dan bangga kepada negara yang menjajahnya tapi lupa sama sekali dengan Tuhan yang menciptakan dirinya dan memberinya kenikmatan. Padahal kita semua sebagai muslim tidak diseru kecuali berpegang pada aqidah yang satu, ikatan yang satu, perintah yang satu dan kepemimpinan yang satu. Tauhid dalam segala bidang. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS ali Imraan [3]: 103) Seandainya saja Rasulullah masih ada, maka tentu dia akan menghapuskan segala macam diskriminasi dan rasialisme yang diwariskan dunia Barat kepada kaum muslim. Seandainya saja Umar bin Khattab masih ada, maka pastilah beliau sendiri yang akan menghunus pedangnya untuk memenggal penyeru ashabiyah. Tapi mereka telah tiada, namun bukan tanpa warisan. Rasulullah menyiapkan sebuah sistem buat ummatnya agar ummatnya dapat bersatu padu dan kuat dalam satu kepemimpinan di seluruh dunia. Insya Allah saat Khilafah Islam tegak satu saat nanti, Khalifah lah yang akan mengomando kaum muslim membunuh ashabiyah.

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/07/30/felix-y-siauw-curahan-hati-seorang-keturunan-cina-muslim-di-indonesia/

Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita?

“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”
 
Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, dalam sebuah ceramahnya puluhan tahun silam. Muhammad Quthb adalah ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20. Ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis yang gencar melakukan perlawanan terhadap rezim Imperialisme Mesir, namun juga cendekiawan yang terkenal luas ilmunya.

Beberapa bukunya pun telah beredar di Timur Tengah dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang diantaranya adalah Shubuhāt Hawla al-Islām (literally “Misconceptions about Islam”).Hal nahnu Muslimūn (Are we Muslims?). Al-Insān bayna al-māddīyah wa-al-Islām. (Man between the Material World and Islam). Islam and the Crisis of the Modern World dan masih banyak lagi. Maka tak heran, lepas dari penjara ia pun mendapatkan gelar Profesor Kajian Islam di Arab Saudi.
Muhammad Quthb menekankan bagaimana pentingnya peran yang dimiliki seorang ibu dalam Islam. Ibu tidak saja adalah pihak yang dekat secara emosional kepada seorang anak, tapi ia juga memiliki pengaruh besar terhadap masa depan akhlak dari generasi yang dilahirkannya.

Menurut Muhammad Quthb anak yang pada kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran moral akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang solehah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam memorinya.
Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. Sifat alami anak yang banyak mengimitasi perilaku sang ibu akan membuka peluang transferisasi sifat alami ibu kepada anaknya.

Maka kerusakan anak akan amat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. Oleh karena itu, dalam bukunya Ma’rakah At Taqaaliid, Muhammad Quthb mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang terkait dengan arti kehadiran ibu dalam keluarga. Ia menulis: 
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”
Konsep inilah yang tidak terjadi di Negara Barat. Barat mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian dalam pengertian yang sangat primitif, yakni tidak lain konsep pemenuhan biologis semata.

Dosen dan pelacur bisa jadi sama kedudukannya mirip dengan perkataan Sumanto Al Qurtubhy, kader Liberal didikan Kanada yang berujar, “Lho, apa bedanya dosen dengan pelacur? Kalau dosen mencari nafkah dengan kepintarannya, maka pelacur mencari makan dengan tubuhnya.”

Qurthuby hanyalah muqollid (pengikut) dari Sigmund Freud, psikolog kenamaan asal Austria yang membumikan konsep psikoanalisis. Ia mengatakan ketika dorongan seksual sudah menggelora dalam diri pria maupun wanita, maka sudah selayaknya mereka tuntaskan lewat jalan perzinahan, tanpa harus melalui alur pernikahan. Maka itu Freud menuding orang yang senantiasa menjaga akhlaknya rentan terserang gangguan psikologis seperti neurosis.

Kini Freud memang telah mati, namun gagasan itu membekas dalam pribadi orang Barat. Jika anda kerap menyaksikan berita Olahraga, pembawa acara sering memberitakan bahwa salah seorang pemain sepakbola di Inggris telah memiliki anak dari pacarnya, ya pacar dan bukan istri. Karena konsep pernikahan sudah mendebu di benua biru.
Pasca kematian Freud, muncul banyak pengganti yang tidak lebih ekstrem, salah satunya Lawrence Kohlberg. Ia adalah pengusung metode pendidikan Karakter. Metode ini sudah gagal di Barat dan sekarang diimpor ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.

Wajah pendidikan Karakter terlihat manis. Ia mentitah agar para siswa berperilaku jujur dan memegang komitmen. Namun ia tidak memliki dasar agama, jika seorang remaja memilih untuk hidup tanpa tuhan, tidak menjadi persoalan dalam pendidikan karakter, asal itu dapat dipertanggungjawabkan.

Begitu pula masalah hubungan seks. Bagi Kohlbergian, kita tidak boleh menyalahkan seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah, sebab masalah baik atau buruk menjadi relative. Pendidikan Karakter pun tidak boleh menghakiminya, karena anak akan jatuh salah jika ia tidak bisa mempertanggungjawabkan hubungan seksnya. Jadi jika remaja perempuan hamil masih bisa terbebas dari “dosa”, asal ia siap menjadi ibu. Urusan benar atau salah tergantung tanggung jawab, bukan agama.

Maka tak heran, ketika Lawrence Kohlberg lebih memilih bunuh diri dengan menyelam di laut yang dingin pun disambut gembira oleh masyarakat Barat. Alasannya bisa membuat kita sebagai umat muslim tertawa: Kohlberg telah memilih jalan yang memang ia kehendaki. Ya terlepas dari dia yang akan masuk neraka jahnam. Sebuah metode berfikir yang terlalu konyol untuk kita fahami.
Kita kembali lagi ke masalah perempuan. Kehidupan Barat yang bebas sejatinya diawali dari kehendak dari kalangan wanita untuk hidup bebas dan meredeka sesukanya. M. Thalib, cendekiawan muslim yang telah menulis puluhan buku tentang pendidikan Islam juga menekankan bagaimana proyek Zionis dibalik wacana pembebasan wanita di Barat. Menurutnya kaum Yahudi memiliki peran kuat dibalik slogan Liberty, Egality dan Fraiternity (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) kepada bangsa Perancis.

Hal ini dipropagandakan oleh Zionis dan disebarkan ke penjuru dunia hingga kita bisa merasakan apa yang disebut Hak Asasi Manusia dan Feminisme pada saat ini. Dalam bukunya, “Pergaulan Bebas, Prostitusi, dan Wanita”, M. Thalib menulis, 
“Slogan-slogan inilah yang membuat orang-orang bodoh turut serta mengulang-ulanginya di seluruh penjuru dunia di kemudian hari, tanpa berfikir dan memakai akalnya lagi.”
Mungkin terasa ganjil bagi kita, mengapa Yahudi sebagai bangsa yang pongah begitu takut dengan perempuan? Jawabannya sederhana: membiarkan seorang wanita tumbuh menjadi solihah adalah alamat “kiamat” bagi mereka.

Jika seorang ibu yang solehah bisa mengasuh 5 anak muslim di keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi mujahid. Kita bisa hitung berapa banyak generasi yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini? 

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah manusia di muka Bumi ini yang harus diperlakukan dengan cara yang paling baik ?”. Rasul menjawab, “Ibumu”. “Setelah itu siapa lagi ya Rasul”. Sekali lagi Rasul menjawab, “Ibumu”. Sahabat bertanya kembali, “Kemudian siapa?”. Lagi-lagi Rasul menjawab “Ibumu, baru Ayahmu”. [Shahih, Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
 oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
sumber: Eramuslim

Belajar Ditolak Cinta dari Sayyid Quthb

Oleh: Muhammad Pizzaro Novelan Tauhidi

Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillayahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya. Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!

Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu. Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam. Sayyid sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia). Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali!”

Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan musuh-musuh tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad saw. Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu keluar.

Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.

Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah

Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.
Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran. Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung. Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.

Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini. Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.
Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta. Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta sang Sayyid.
Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.

Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”. Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang lain.

Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta. Ternyata energi tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.

Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat. Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.
Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.

Problematika Cinta: Sebuah Refleksi

Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta kita. Ikhwatifillah, tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!
Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa [4] : 28).

“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum [30] : 54).

Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,
Tidak berakhir di situ, kemudian Allahpun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta. Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,

“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”
Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan kita.

Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana Hati

Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana kita selalu berusaha dekat dengan Allah.

Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid, bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah, kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.

Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.
Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama sepertia yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu kembali kepada diri kita pribadi.

“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)
Wallahua’lam. Ciracas, 18 September, 2010. Pukul 01.00 WIB