Senin, 08 Oktober 2012

Belajar Memimpin dari Pilot

“Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. We have a small problem. All four engines have stopped. We are doing our damnedest to get them going again. I trust you are not in too much distress.” (captain. Eric Moody)

Menganalogikan memimpin sebuah negara dengan sebuah penerbangan kerap kita lakukan sedari dulu. Meski ada beberapa analogi tersebut terasa kurang tepat seperti pada saat sebuah media cetak ternama yang juga mengangkat tema yang sama dalam sebuah dialog di media televisinya dengan tajuk “Negara Autopilot” meski saya pahami peristilahan itu digunakan untuk menyindir tentang keberadaan pilot (pemimpin negara).
Istilah tinggal landas misalnya sangat akrab di telinga kita pada Era kepemimpinan Presiden Soeharto. “Telah menjadi tekad nasional kita yang sebulat-bulatnya, seperti yang kita amanatkan sendiri pada diri kita dalam GBHN 1983, bahwa dalam Repelita IV itu kita akan menciptakan kerangka landasan dan dalam Repelita V melanjutkannya dalam usaha mewujudkan landasan yang kukuh kuat bagi terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Di saat itulah –mulai Repelita ke-VI– kita akan mampu tinggal landas menuju masyarakat yang kita cita-citakan.” Begitulah salah satu nukilan paragraf dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto didepan DPR RI pada 16 Agustus 1984.
Ibarat terbang, agar dapat take off dengan baik, maka sebuah pesawat harus melaju begitu kencang dan kuat dengan tetap menjaga keseimbangan dengan bantuan dua sisi sayap agar tidak terhempas ke daratan dan justru membuat celaka para penumpang didalamnya.
Jika negara kita dianalogikan dengan negeri autopilot, secara tidak langsung yang menganalogikan negara kita dengan istilah tersebut mengakui bahwa kita telah take off dan telah meninggalkan landasan dan tengah cruising. Sebab sistem autopilot sepemahaman saya dioperasikan setelah pesawat dalam keadaan cruising.
Sebab sejauh ini pesawat yang dapat dioperasikan secara auto (tanpa pilot) dari take off, cruising hingga landing biasanya hanya berfungsi sebagai pengintai, pembuat peta, pembuat foto udara dll namun belum pernah ada pesawat dengan penumpang yang dapat dioperasikan secara auto dari take off hingga landing.
Pesawat penumpang sejauh ini tidak pernah di design untuk melakukan take-off dengan Autopilot. Autopilot baru boleh dioperasikan minimum pada 400feet AGL (Above Ground Level) atau 400 kaki dari permukaan untuk pesawat penumpang berkapasitas besar seperti boeing atau 30 feet untuk pesawat berjenis Fokker 100/70 atau 100 feet/5 second after lift off untuk jenis pesawat penumpang Airbus. Untuk mengoperasikan sistem autopilot, sebelum take-off, para FO (first Officer/co-pilot) sudah mengkalkulasikan berapa persentase center of gravity (: titik Berat )berdasarkan peletakan payload (: daya angkut pesawat) di dalam pesawat yang menentukan berapa unit stabtrim (: sistem yang digunakan untuk menjaga stabilitas horisontal saat pesawat terbang) yang dibutuhkan.
PILOT KOMUNIKATIF
Ada perkembangan yang menarik saat menikmati penerbangan belakangan ini. Para Pilot maupun FOO lebih komunikatif. Layaknya penyiar radio menginformasikan waktu tempuh, berapa ketinggian saat menjelajah angkasa, cuaca serta terkadang beberapa kondisi yang harus dihadapi dalam penerbangan. “Dalam penerbangan ini kita akan terbang cuaca yang kurang baik sehingga kita akan mengalami guncangan-guncangan kecil, “ begitu kalimat yang disampaikan Captain Laurencius yang saya dengar dalam penerbangan dari Polonia ke Soekarno Hatta.
Namun yang menarik untuk dipelajari adalah sekomunikatif apapun seorang Pilot/co pilot namun tidak pernah pilot/co pilot menyampaikan perasaannya yang cemas, ketakutan atau khawatir ataupun merasa terancam saat menerbangkan pesawatnya sekalipun pada saat terbang dalam cuaca buruk. Itulah salah satu hakekat “kepemimpinan” sesungguhnya dalam pandangan saya.
Seorang pemimpin, layaknya seorang pilot harus mampu memisahkan informasi yang seharusnya diketahui oleh penumpangnya dalam batasan-batasan dengan diketahuinya informasi tersebut penumpang akan lebih siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Seburuk apapun kondisi yang harus dihadapi sebuah penerbangan seorang pemimpin layaknya seorang pilot harus benar-benar menyaring informasi yang ingin dikomunikasikan ke penumpang seperti yang dilakukan Captain Eric Moody. Meski ke-4 mesin British Airways Nomor Penerbangan 9 Captain pada 24 Juni 1982 mati karena abu vulkanik Galunggung, namun dengan tenang Captain Eric Moody berusaha menyampaikan kondisi yang dialami dalam penerbangan dan meminta penumpang tetap tenang.
 Telah dimuat dalam :  http://politik.kompasiana.com/2012/02/27/belajar-memimpin-dari-pilot/ OPINI | 27 February 2012 | 15:29