Kasus ditangkapnya sejumlah Anggota DPR RI karena dugaan terlibat KKN terus mengusik batin saya. Bukan sekedar karena saya mengenal beberapa diantara mereka lantaran saya bekerja pada institusi DPR RI saja, tapi karena saya berusaha berempati – seandainya saja saya pada posisi mereka, akan kah saya juga akan terjerumus pada lubang yang sama ???
Saya jadi teringat ucapan seseorang kepada saya pada saat saya bercerita saya tengah melamar sebagai peneliti di Sekretariat Jenderal DPR RI, salah seorang peneliti senior LIPI berkata, “Wah, kamu kalau bisa diterima disana hebat. KKN disana kuat banget lho. Kalau ngga diterima di DPR ke LIPI aja..Lebih bersih” kata dia dalam sebuah percakapan telepon dengan saya. Karena penulisan skripsi saya menggunakan dasar teori yang dia bangun belakangan saya memang akrab dengan beliau.
Saya tetap pada pendirian saya. Bahwa saya yakin saya akan berhasil menerobos barikade “KKN” (: meminjam istilah yang dia gunakan) di Setjen DPR RI. Saya berkeyakinan Allah SWT tidak pernah tidur dan Allah SWT akan mengabulkan permintaan hamba-Nya asal kita meminta dengan kesungguhan hati dan ikhtiar atau berusaha semaksimal mungkin. Apalagi saya menjalani serangkai tes pegawai tersebut pada saat bulan Ramadhan. Hehe...rada “katrok” juga....semua orang yang saya temui saya minta doa restunya...sampai-sampai di kampus FISIP Universitas Diponegoro saya sempat diledekin....what ever....siapa tahu doa mereka yang saya minta itu makbul...
Alhamdulillahnya...saya benar-benar diterima sebagai PNS di Setjen DPR RI. Sayangnya sebagai pegawai saya harus nurut di tempatkan di Bagian Pemberitaan DPR RI. Tapi saya juga bersyukur, karena sejak sekolah saya sudah mencintai dunia jurnalistik karena saya berkecimpung di majalah Expressi SMA Negeri 1 Semarang dan majalah OPINI FISIP UNDIP.
Nah, sebagai “wartawan internal” saya mendapat kesempatan begitu berharga untuk mengenal orang-orang hebat di negeri ini, yaitu para anggota DPR RI yang terhormat. Tanpa bermaksud membela institusi tempat saya bekerja, perasaan itu tetap ada dalam perasaan saya hingga saat ini. Bagaimana pun juga mereka adalah orang-orang yang terpilih untuk memegang amanat membangun negeri ini. Bagaimana pun mereka adalah “orang-orang hebat”.
Mengenakan “baju pers” membuat saya posisi yang “nyaman” karena berbeda dengan staf atau pegawai lainnya, mereka – para anggota Dewan terhormat bersikap lebih familiar kepada pers. Sebab hubungan kita memang simbiosis mutualisme, saya butuh mereka sebagai narasumber sebaliknya mereka juga butuh kita untuk menyampaikan ide, gagasan serta berbagai tindakan serta kebijakan yang mereka telah lakukan untuk rakyat.
“Moment” yang sangat berharga dan itu menambah pengalaman serta pandangan hidup saya adalah pada saat mengenal Agustin Teras Narang, saat itu beliau menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR RI. Sosok beliau yang sangat bijak, amanah dan sangat “low profile” membuat saya sangat percaya, bahwa menjadi Anggota DPR RI adalah sebuah tanggungjawab yang tidak mudah dalam menjalankannya.
Belum lagi berderet nama lain yang banyak mewarnai cara pandang saya dalam melihat kehidupan. Sosok muda nan cerdas dan Bapak Lukman Hakim Saifuddin dengan sikap qonaahnya (: merasa cukup atau mensyukuri atas semua karunia yang telah diberikan kepada kita) , Ibu Yoyoh Yusro dengan sifat keibuan sekaligus profesional dan amanah dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai anggota DPR RI, Bapak Suswono yang demikian bersahaja, Bapak Abdillah Toha yang demikian gigih memimpin delegasi Indonesia memperjuangkan nasib negara-negara sahabat Indonesia yang tertindas oleh imperialis negara adidaya, bahkan termasuk Yusuf Emir Faisal.
Agak susah logika saya menerima kenyataan ditangkapnya mantan Ketua Komisi IV DPR RI itu sebagai tersangka korupsi. Sebab dalam kesehariannya, sosok anggota DPR RI tersebut termasuk ideal, serius dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai anggota DPR RI, tak pernah meninggalkan tugasnya sebagai Umat beragama alias selalu sholat lima waktu dengan tepat waktu dan berpuasa, serta tidak pernah “neko-neko”. Satu “moment” yang saya ingat adalah “perkenalan pertama” saya dengan Yusuf Emir Faisal saat saya harus meliput sidak Komisi IV DPR RI ke kerawang, Jawa Barat terkait dengan kelangkaan pupuk. Terus terang saya langsung salut dengan Ketua Komisi IV yang baru (: pada saat itu baru terjadi pergantian kepemimpinan Komisi IV) karena mau turun langsung ke sawah dan berdialog langsung dengan petani. Padahal saya sebagai pewarta saja (dan saya jauh lebih muda) sudah merasa letih karena harus berjalan jauh di tengah terik matahari. Belum lagi pada saat melihat keseriusan Yusuf Emir Faisal memimpin rapat, terlebih pada saat pembahasan RUU hingga dini hari.
Namun, akhirnya saya dapat memahami secara utuh semuanya. Tidaklah mudah berjalan di tengah badai.....sebagai PNS saya juga miris....sulit rasanya membedakan mana yang halal, mana yang subhat, mana yang haram. Kejadian demi kejadian yang tidak pernah dapat saya lupakan (:hehe maaf ....of the record yah...) membuat saya menyerah....berjalan di tengah badai tidaklah mudah.....bahkan sangat berat....antara jeritan hati nurani yang terus menerus berteriak memohon agar tetap berjalan sebagai khalifah...berjalan di jalan Allah dan tuntutan keduniawian....daya tarik uang, jabatan dari dulu belum lah hilang..... saya memang bukan orang yang suci... tapi terkadang sangat sulit rasanya menerima kenyataan ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yang teramat berat (“kelihatannya seperti itu tapi jika kita mau sedikit meluangkan waktu menepi, sholat tahajud dan berzikir maka semuanya akan terlihat demikian jelas....bahwa semua gemerlap dunia tidaklah kekal...).
Akhirnya....saya mencoba menepi....oh ya, saya bersyukur para petinggi di Setjen DPR RI mengabulkan permintaan saya untuk menjadi pegawai fungsional, menjadi peneliti di Pusat Pengkajian Data dan Informasi DPR RI. Alhamdulillah. Tapi ternyata memang susah ya....harus berpikir terus, ngumpulkan KUM agar minimal tidak kembali ke struktural...belum lagi di sini memang benar-benar beda dengan struktural “sepi”......hehe....tapi agar hati saya tetap teguh dan kuat menghadapi “kemiskinan duniawi” (:begitu saya membahasakan keadaan peneliti di P3DI) saya selalu mengingat janji Allah SWT, “Kelak di hari kiamat, hanya ada satu golongan manusia yang tak takut dan tak pula terkejt menyaksiakan dasyatnya hari kiamat. Mereka adalah para syuhada, yang gugur di jalan Allah “....
Begitulah hidup.... “hidup laksana seperti sekolah, Sebab di dalamnya ada pelajaran yang sangat panjang, Untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik....”saya sadari sebagai manusia biasa, saya memiliki banyak sekali kekurangan dan ketidaksempurnaan....tapi saya bersyukur, Allah SWT hingga kini masih memberikan saya waktu untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik sebelum Allah SWT mengembalikan diri saya ke alam yang kekal....alam barzah....semoga kelak saya kembali dalam keadaan menjadi manusia yang jauh lebih baik dari hari ini, so please “Do the best for our future” lakukanlah yang terbaik untuk “masa depan” kita....alias lakukan yang terbaik untuk hari akhir kita nanti.....
Jumat, 5 September 2008, 12.30 WIB
Sebuah renungan di Ruang Tim Politik Dalam Negeri P3DI DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar