Senin, 27 April 2009

Menangisi Nasib “Marwoto-Marwoto” Indonesia

Akhirnya Indonesia muncul sebagai negara yang pertama kali dalam sejarah penerbangan sipil di dunia, mempidanakan pilot dalam sidang di pengadilan umum karena kecelakaan pesawat. Tak ayal persidangan yang menempatkan capt. M. Marwoto Komar sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Sleman itu selain diliput wartawan nasional juga diliput oleh sejumlah wartawan dari negara lain.

Tragedi kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA 200 di Bandara Adisutjipto pada 7 Maret 2007 lalu itu mengakibatkan 21 penumpang tewas, lima orang di antaranya warga Australia serta puluhan lainnya luka. Akibat tragedi itu, capt. M. Marwoto Komar – pilot pesawat naas tersebut dituntut hukuman penjara selama empat tahun oleh Jaksa Penuntut Umum, Modim Aristo, karena didakwa melanggar pasal 479 (G) dan (F) KUHP, yakni akibat kelalaiannya telah mengakibatkan matinya orang lain serta rusaknya pesawat udara.

Dalam persidangan senin (10 Maret 2008) - yang memeriksa Kopilot Gagam Saman Rohmana sebagai saksi mulai pukul 09.00 hingga 13.35 WIB tersebut sempat terungkap sempat mengingatkan pilot Marwoto untuk tidak melakukan ’landing’ karena memang dianggap tidak memungkinkan sebagaimana rekaman standar prosedur komunikasi sebelum melakukan ’”landing”. Pada persidangan Senin (8/9), Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sleman menolak seluruh eksepsi (keberatan atas dakwaan) dari pilot Marwoto Komar.

Persidangan lanjut, Senin (6 April 2009) capt. Marwoto Komar dinilai bersalah telah lalai dalam mengemudikan pesawat yang berakibat kecelakaan dan menyebabkan puluhan penumpang tewas. Kapten Pilot Marwoto Bin Komar akhirnya dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena dianggap melanggar pasal 479 (g) huruf b dan huruf a yang merupakan dakwaan kedua dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Sri Andini SH, Marwoto dinilai bersalah telah lalai dan mengakibatkan pesawat mengalami kerusakan. Bahkan akibat kelalaiannya tersebut telah menyebabkan orang lain meninggal atau mengalami celaka.
Kelalaian tersebut, menurut majelis hakim karena Marwoto sebagai pilot flying (pilot terbang) tidak menginformasikan kejanggalan yang dihadapi kepada Co Pilot Gagam Saman Rohmana yang bertindak sebagai pilot monitoring, sesaat sebelum mulai mendaratkan pesawat di Adi Sutjipto Yogyakarta.

Majelis hakim menilai, seharusnya Marwoto menginfromasikan kejanggalan ini kepada co pilot, dan berkomunikasi dengan petugas bandara. Bila ini dilakukan, hakim menilai kecelakaan yang mungkin timbul tidak akan separah yang kemudian terjadi.

Majelis hakim membandingkan dengan kecelakaan Lion Air di Batam. Pilot dari awal mengomunikasikan kendala‑kendala yang dihadapi ke petugas bandara, sehingga petugas di darat bisa melakukan persiapan dengan baik untuk mengantisipasi segala kemungkinan.

Namun demikian, meski Hakim memutuskan Marwoto bersalah melanggar pasal 479 (g) huruf b dan a, keputusan tersebut bukan keputusan mufakat. Satu dari lima hakim yakni Aris Bawono Langgeng memiliki pendapat berbeda. Menurut Aris saat membacakan dissenting opinion menyatakan terdakwa tidak bisa dipidanakan dengan pasal 479 tersebut. Menurutnya, terdakwa telah melakukan upaya penyelamatan penerbangan. Sehingga meski tidak dapat dibuktikan karena tidak terekam di dalam voice data recorder serta tidak dibenarkan oleh saksi Gagam Saman Rohmana dan hanya berdasarkan pengakuan terdakwa, namun menurut Aris, Marwoto tidak bisa dipidana.

Keputusan tersebut menimbulkan reaksi keras, pada Minggu (26/4) sore, Federasi Pilot Indonesia (FPI) menyatakan anggotanya siap melakukan mogok kerja. Dihadirkannya barang bukti yang tidak boleh diajukan ke pengadilan seperti flight data record (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) oleh Jaksa, dianggap Federasi Pilot Indonesia bertentangan dengan konvensi internasional dan Annex 13. Seharusnya, peradilan menghormati lex specialis derograt legi generali dari UU No 1 tahun 2009 tentang penerbangan yang adalah ratifikasi dari konvensi internasional ICAO soal tidak bolehnya menggunakan data atau barang termasuk keterangan para personil yang bekerja dalam tim penyelidikan keselamatan penerbangan sebagai barang bukti maupun saksi.

Menurut Presiden FPI Capt Manotar Napitupulu, jika sampai Mahkamah Agung Marwoto tetap dianggap bersalah maka asosiasi pilot beberapa maskapai, di antaranya dari Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Mandala Airlines dan Sriwijaya Airlines akan melakukan mogok kerja.

Layakkah Pidana Itu ?

Pertanyaannya kemudian adalah, pantaskah capt. M. Marwoto bin Komar dijatuhi hukuman pidana penjara 2 tahun karena dianggap melanggar pasal 479 (g) huruf b dan a?

Pertanyaan tersebut harus dijawab seobyektif mungkin dengan melihat beberapa fakta yang ada. Pertama, kriminalisasi pilot adalah hal pertama yang terjadi di dunia. Mengapa dunia tidak pernah melakukan kriminalisasi terhadap pilot ? Alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut ? Meski tidak dapat menjawab secara tepat pertanyaan tersebut namun kisah tentang kriminalisasi kecelakaan pesawat di Jepang dapat mengambarkan alasan mengapa tindakan kriminalisasi pilot tidak pernah dilakukan di negara-negara lain.

Menurut beberapa sumber, kriminalisasi kecelakaan pesawat (:bukan kriminalisasi pilot) pernah terjadi di Jepang. Kecelakaan pesawat yang terjadi pada 31 Januari 2001 hampir terjadi tabrakan di udara, di atas Yaizu, antardua pesawat jet JAL. Pesawat menghindari tabrakan dengan membuat manuver yang tiba-tiba sehingga para penumpang terluka karena berbenturan di dalam pesawat. Kasus ini terjadi karena satu pesawat mengikuti instruksi ATC dan pesawat yang lain mengikuti instruksi alat pencegah tabrakan otomatis (TCAS) sehingga dua pesawat bukan menjauh, tetapi malah makin mendekat.

Berdasar investigasi KNKT Jepang, polisi membawa kasusnya ke kejaksaan yang kemudian menuntut ATC dan penerbang JAL 907 ke pengadilan. Tindakan tersebut menimbulkan reaksi keras dari Federasi Penerbang Internasional (IFALPA) dan Federasi ATC Internasional (IFATCA). IFALPA dan IFATCA menyatakan bahwa dengan membawa kasus ini ke pengadilan, Pemerintah Jepang bukan meningkatkan keselamatan penerbangan tetapi justru akan menurunkan jaminan keselamatan penerbangan dengan menciptakan ketakutan terhadap investigasi yang diwajibkan secara internasional. Dari sini kemudian pemerintah Jepang membatalkan segala tuntutan hukum.

Menyoal KUHP tentang Kejahatan Penerbangan

Kedua, mencermati pasal-pasal yang dianggap telah dilanggar capt. M. Marwoto bin Komar yaitu Pasal 479 g huruf a dan b. Berikut bunyi Pasal 479g yang terdapat dalam Bab XXIXA tentang Kejahatan penerbangan dalam KUHP selengkapnya : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana:

a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;

b. dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

Namun, sayangnya, Majelis Hakim tidak melihat latar belakang lahirnya pasal-pasal yang dianggap telah dilanggar capt. M.Marwoto bin Komar tersebut. Merujuk beberapa sumber antara lain “KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA” oleh : Indro Dwi Haryono, kita dapat mengetahui bahwa sejatinya keberadaan pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang Kejahatan Penerbangan itu dibuat untuk melawan terorisme udara. Kejadian 11 September 2001 telah mengingatkan semua pihak bahwa tranportasi udara dapat disalahgunakan untuk kepentingan kriminal atau politik tertentu dalam bentuk terorisme udara. Namun apakah itu artinya “kelalaian” capt. M. Marwoto bin Komar dapat disamakan dengan “kejahatan terencana” teroris??? Profesi pilot merupakan pekerjaan spesial sehingga harus diperlakukan spesial atau ’lex specialis’ dan bukan ’lex generalis’, sangat naif rasanya jika “kelalaian” disejajarkan dengan aksi “kejahatan terencara” teroris.

Kesejahteraan

Ketiga, menyoal kepantasan kesejahteraan pilot di Indonesia – yang tertinggal bila dibandingkan penghargaan yang diberikan kepada profesi yang sama di luar negeri. Wajar bila ramai-ramai pilot kita hijrah ke luar negeri. Ketika kita ke Hanoi naik Vietnam Airlines misalnya, kita akan menemukan salah satu pilotnya ternyata adalah “mantan” pilot Adam Air .

Melalui agen-agen jasa penerbangan seperti jasa perusahaan Parc Aviation dan Aviation World Services para pilot Indonesia melamar kerja ke maskapai penerbangan asing. Jika pilot Indonesia lolos kualifikasi yang ditentukan, maskapai penerbangan asing akan menerima pilot itu dengan kontrak kerja selama dua tahun. Gaji yang diterima pilot sudah dipotong untuk fee agen. Meski gaji dipotong untuk biaya agen, pendapatan yang diterima pilot Indonesia masih tetap tinggi. Rata-rata gaji yang diterima pilot sekitar 9.000-13.000 dollar AS per bulan. Coba dibandingkan dengan rata-rata gaji yang diterima seorang pilot atau co-pilot di Indonesia. Sangat dipahami jika kemudian pilot-pilot Indonesia berbondong-bondong “kabur” ke luar negeri. Bahkan Data Federasi Pilot Indonesia menunjukkan, pilot Indonesia yang bekerja di maskapai penerbangan asing jumlahnya 250 orang yang tersebar di beberapa maskapai seperti Singapore Airlines, Orient Thai, One-Two-Go, Qatar Air, China Airlines, Korean Air, Vietnam Air dan Asiana.

Padahal, pilot merupakan sebuah profesi yang memiliki beban kerja yang sangat tinggi sebab di tangan pilot keselamatan penumpang pesawat diletakkan. Artinya, kondisi tersebut sangat dipahami pula bagi pilot. Tingkat tekanan mental yang dirasakan pada saat pilot menyadari kondisi cuaca yang tak menentu, kerusakan peralatan dalam pesawat yang mendadak terjadi – misalnya pilot otomatis mendadak tidak berfungsi sehingga harus terbang manual - merupakan sesuatu hal yang dapat menimbulkan beban tersendiri. Terlebih ada kalanya schedule yang membuat pilot maupun co-pilot harus rela meninggalkan keluarga lebih dari 2 hari. Artinya, penghargaan terhadap profesi mereka seharusnya disejajarkan dengan beban kerja baik fisik maupun psikologis yang harus mereka tanggung.

Bukan Profesi Biasa

Merujuk artikel “Penerbang Sama Dengan Sopir Angkot ?yang ditulis Chappy Hakim maka kita mau tidak mau harus mengakui bahwa pilot bukanlah seperti profesi lainnya. Karenanya secara periodik seorang pilot maupun co-pilot harus diuji secara periodik terkait kondisi baik fisik maupun keahlian, dan sehingga akhirnya baru dinyatakan layak untu menjalankan pesawat yaitu sesuai dengan regulasi yang ada , pada setiap 6 bulan sekali mereka harus melakukan tes kesehatan dan juga ”proficiency check” untuk keterampilan terbangnya.

Untuk menjadi seorang pilot atau captain pilot ada serangkaian persyaratan khusus yang diatur secara ketat dalam beberapa peraturan yang harus dipenuhi seseorang co-pilot yang ingin meningkatkan posisinya menjadi captain pilot.

Tak hanya itu, pilot juga merupakan profesi yang “bukan biasa” (: menghindari kata istimewa) sebab dalam sekolah penerbangan terlebih dulu mereka di tempa dengan berbagai pengetahuang yang diberikan dalam program “grounc school” yang dilanjutkan pada pembelajaran tentang pesawat yang akan digunakan.

Belum lagi pengenalan ”cockpit”, bukanlah sesuatu yang mudah. ”cockpit drill”, dalam mengenal peralatan yang ada di cockpit akan termasuk didalamnya bagaimana menghafal semua panel dan ”switch” yang terdapat di ruang kemudi. Belum lagi prossedur keadaan darurat yang sebagian besarnya harus hafal diluar kepala, dan ini memerlukan tingkat kecerdasan tertentu. Sebelum terbang masih ada lagi sesi latihan di simulator, yang mencakup banyak hal antara lain prosedur keadaan darurat serta pola untuk ”take off” dan ”landing”. Keterampilan berkomunikasi yang merupakan bagian yang utuh dari proses pelaksanaan satu penerbangan akan menjadi beban ekstra dalam latihan di simulator . Setelah semua itu berjalan dengan hasil evaluasi yang memuaskan, barulah seorang siswa penerbang diperkenankan untuk memulai latihan terbang dengan menggunakan pesawat terbang sebenarnya. Dus, ketika seorang pilot maupun co-pilot ditugaskan artinya dia sudah diuji kelaikkan terbangnya.

Jadi harus dipahami adalah pilot merupakan profesi yang membutuhkan kemampuan dan pemahaman teknologi yang sangat tinggi. Tidak sembarang orang bisa menjadi pilot yang andal dan tidak mudah pula mencetak pilot yang profesional.

Beban kerja yang ditanggung tiap pilot maupun co-pilot pun makin bertambah manakala permintaan pasar semakin tinggi. Melonjaknya trend transportasi melalui udara telah membuat beberapa maskapai menambah route penerbangannya. Kondisi tersebut menyebabkan makin bertambahnya beban kerja yang harus ditanggung setiap first officer di penerbangan. Lantas pertanyaannya, berapa leg yang dapat dipikul seorang pilot maupun co-pilot ? Tercatat ada beberapa maskapai yang mempercayakan beban hingga 6 leg pada pilot maupun co-pilot mereka. Namun ada juga maskapai yang memaksa pilot terbang delapan kali sehari hingga berbuntut pada ancaman mogok kerja. (: baca berita “Dipaksa Terbang 8 Kali Sehari, Pilot Ancam Mogok” yang berisi tuntutan seluruh pilot perusahaan penerbangan Riau Airlines / Forum Komunikasi Penerbang PT RAL. PT RAL memiliki lima pesawat jenis Foker 50 yang melayani 80 sektor tujuan. PT RAL memiliki 31 pilot. Selain berupa penerbangan komersial yang berbasis di Pekanbaru, RAL melayani penerbangan carter. Karena tuntutan “pasar” maka meningkat pula beban kerja pilot dan co-pilot) lantas jika begini masihkan pilot layak menjadi sasaran tembak pertama terjadinya kecelakaan ??

Namun yang jelas, jika vonis 2 tahun pidana penjara tetap dijatuhkan pada capt. M. Marwoto bin Komar itu adalah “mimpi buruk” bagi dunia penerbangan - tak hanya dunia penerbangan di Indonesia.

Sama halnya dengan profesi militer, maka pengadilan terhadap profesi pilot sebaiknya dilakukan oleh pengadilan profesi jugaartinya Majelis Profesi Penerbangan harus segera di bentuk sesuai dengan Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Sebab jangan sampai para pilot dan co-pilot yang sudah memiliki beban kerja yang demikian tinggi itu akhirnya berujar “kalau aku lebih baik mati sekalian daripada dipenjara” sebab bagi mereka tentu, tanpa diberikan shock terapy – berupa dipenjaranya rekan seprofesi mereka - dengan sendirinya musibah yang dialami penerbang lainnya telah menjadi warning otomatis bagi mereka untuk lebih berhati-hati dan selalu berusaha mengambil keputusan paling tepat dan cepat (:konon mengambil keputusan saat menerbangkan pesawat dalam hitungan detik).

Bagi capt. M. Marwoto bin Komar sendiri, entah kapan mimpi buruk itu akan berakhir....saya percaya meskipun pada akhirnya pengadilan memutuskan M. Marwoto Komar tak bersalah (:tanpa menisbikan penderitaan keluarga korban tragedi), namun mimpi buruk tentang tragedi kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA 200 pada 7 Maret 2007 di Bandara Adisutjipto bagi capt. Marwoto tak akan pernah berakhir...rasa duka yang mendalam atas tewasnya 21 penumpang pada pesawat yang diawakinya, rasa bersalah dan penyesalan tetap akan menghantui seumur hidupnya.

*)meski tulisan ini jauh dari kesempurnaan dan pastinya tidak dapat memuaskan semua pihak khususnya korban tragedi GA-200 namun tulisan ini didedikasikan pada "Marwoto-Marwoto" Indonesia....yang tak kenal letih menempuh mil demi mil ....semoga tak ada lagi "Marwoto Jilid 2 dst....

**) Catatan ini telah dimuat di http://public.kompasiana.com

Tidak ada komentar: