Andaikan sebelum dilahirnya, kita diberi kesempatan untuk memilih, siapakah yang akan menjadi orang tua kita, mungkin pilihan kita akan seragam. Kita tentu akan memilih dilahirkan di tengah-tengah pasangan yang saling mencintai yang hidup dalam kondisi serba berkecukupan. Namun bagaimanakah jika kita terlahir di tengah keluarga yang broken home ?? uhh....
Kepala saya mendadak pening saat mendengar cerita seorang teman yang selama ini telah menjadi salah satu sosok yang saya kagumi selain kedua orang tua saya. Rasa kagum saya kepadanya sontak berubah menjadi pemujaan. Betapa tidak, seseorang yang begitu berarti dan menjadi sumber inspirasi dalam hidup saya itu ternyata adalah salah satu korban keluarga broken home. Padahal teman saya terbungkus dalam “kemasan” yang sangat sempurna, dewasa, cerdas, alim (untuk ukuran kota sebesar Jakarta tentunya), semasa sekolah prestasinya cukup mengagumkan dan saat ini pun dia telah memiliki pekerjaan yang tergolong cukup mapan.
Meski jarak yang terbentang diantara kami berdua demikian jauh saat dia bercerita, namun getaran hatinya terasa begitu menguncang perasaan saya. Ayah yang seharusnya mengayomi, menafkahi, dan mendidik anak-anaknya, ternyata telah tega meninggalkan seorang istri dan keempat anaknya.
Kegetiran tetap terasa menyakitkan batin saya saat mendengar penuturan teman saya. Meski tergolong sosok yang tabah dan tegas hingga nyaris terkesan garang, ternyata luka yang sangat dalam terlanjur membekas. Suara yang biasa terdengar kuat dan ceria itu terdengar tertekan.
Kenyerian itu mendadak ikut menyayat batin saya. Tak mudah bagi seorang anak yang masih duduk di bangku TK menerima kenyataan pahit sang Ayah tega meninggalkan Ibundanya berikut seorang kakak yang masih duduk di bangku kelas 2 SD dan dua orang adik yang masih berusia balita.
“Aku mencoba menjadi figur bagi diriku sendiri…sebab kalau tidak aku tidak tahu apa ya ng terjadi pada diriku saat ini,” katanya sambil tertawa. Namun entah mengapa, tawa itu terdengar demikian getirr...
Ya Tuhan….ingin rasanya tangan ku merengkuh dan memeluknya sebab sosoknya yang tegar mendadak berubah menjadi sosok bocah kecil yang begitu kesepian, sendirian…..mencoba dan memaksakan diri untuk tegar….dan terus menerus mangatakan dalam batinnya…..semua pasti akan baik-baik saja…..semua pasti akan baik-baik saja…..namun ternyata tidak….
“Yah, aku beruntung, demikian pula dengan adikku yang nomer 3, namun yang nomor 1 dan nomor terakhir hancur….” tuturnya dengan nada sangat getir.
Ya Tuhann...
Itulah yang terjadi ketika sebuah kapal akhirnya karam lantaran terhempas badai. Para penumpangnya, masing-masing mau tak mau harus berusaha menyelamatkan diri sendiri.
Begitu pula yang terjadi pada anak-anak yang terlahir di tengah keretakan bahkan kehancuran sebuah keluarga. Anak-anak itu biasanya harus berjuang keras untuk berdiri tegak menatap kehidupan, karena ia terlahir dengan cerita pedih.
Perceraian memang tak seharusnya berakhir dengan derita yang berkepanjangan. Namun tak dapat dipungkiri keretakkan rumah tangga hampir dapat dipastikan memberikan dampak buruk pada anak-anak. Setidaknya perceraian pasti mengoreskan kenangan pahit dan menyakitkan bagi anak-anak. Perasaan un happy, hingga hilangnya perhatian orang tua dapat menyebabkan hadirnya kesedihan dimasa kanak-kanak mereka yang seharusnya penuh dengan keceriaan.
Berusaha menjadi figur bagi diri sendiri adalah salah satu jalan alternatif bagi anak-anak korban perceraian agar tak ikut luluh lantak akibat kehancuran rumah tangga orang tuanya.
Namun itu hanyalah alternatif mengurangi dampak negatif secara fisik. Namun secara psikis, tetap saja perceraian tetap saja menimbulkan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin yang sangat dalam. Sangat wajar bila pada akhirnya dalam beberapa kasus terjadi anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk membuka diri dengan lawan jenis atau bahkan lebih jauh lagi menjadi takut menikah. Sebab disadari atau tidak, perasaan khawatir perkawinannya nanti akan mengalami nasib yang sama seperti orangtuanya tetap menghantui.
“Menjadi figur bagi diri sendiri” boleh jadi dapat dijadikan upaya “penyelamatan diri” yang bersifat sementara sebab jika alternatif jalan itu terus dijalani, sesungguhnya itu hanya akan menimbulkan luka baru....seperti yang pernah diungkapkan seorang teman saya yang begitu bijak....akan tetap ada “ruang” yang kosong di sukma…hanya akan meninggalkan ”lubang di dalam hati…”
Namun entahlah.... hingga kini saya pun tak sanggup dan ttidak berani menanyakan kepada teman saya “Apakah hatimu baik-baik saja?” meskipun setiap hari saya selalu merasakan kesunyian, kesepian di lorong2 hatinya….
Kesulitan membuka diri, membuka hati, kesulitan untuk menyayangi lantaran sibuk menghindarkan diri dari luka batin yang tak berkesudahan ternyata telah menimbulkan dampak negatif yang jauh lebih mengerikan akibatnya.
Sampai kapankah lubang yang mengangga lebar itu akan terus dibiarkan melukai jiwanya ??? entahlah.....meskipun setiap saat saya selalu ingin memintanya untuk tidak terus menerus menyembunyikan luka batinnya sebab itu hanya akan memelihara kepedihannya....tetap saja tak satupun kata dapat terangkai....hanya doa, dan doa yang terus saya rangkaikan untuknya....memohon agar Sang Maha Pengasih berkenan menghapus semua luka dihatinya....just let it be, let it be, let it be...
Catatan ini merupakan moderasi dari artikel dengan judul yang sama pada http://publickompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar