Desas-desus dugaan penggelembungan anggaran dalam pembelian enam
pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 dari Rusia menyeruak. Muncul sangkaan
telah terjadi penyimpangan pembelian Sukhoi yang harganya digelembungkan
dari 55 juta dollar AS per unit pada 2010 menjadi 83 juta dollar AS per
unit pada 2011.
Lebih jauh Indonesia Corruption Watch (ICW)
mensinyalir terdapat pelibatan pihak ketiga dalam pembelian enam pesawat
tempur Sukhoi jenis SU-30 MK2 dari Rusia JSC Rosoboronexport Rusia yang
diageni PT Trimarga Rekatama.
Akibatnya, harga per unit Sukhoi
melambung dari 55 juta dollar AS pada 2010 menjadi 83 juta dollar AS
pada 2011. Dari skema pembiayaan dengan kredit ekspor, menurut ICW, agen
mendapatkan fee 15-20 persen dari harga barang sehingga potensi
kerugian negara lebih dari Rp 1 triliun.
Wilayah tertutup
Korup
di area tertutup bidang pertahanan telah menjadi momok lama setiap
negara. Dugaan itu sah-sah saja sebab pengadaan barang dan jasa yang
berlangsung secara terbuka saja bisa diakal-akali, bagaimana dengan
pembelian barang berteknologi super yang notabene berada di wilayah yang
terlindung oleh pengecualian dalam UU Keterbukaan Informasi Publik?
Berdasarkan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, dokumen yang memuat tentang strategi intelijen, operasi,
teknik, dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi merupakan salah satu dari
sekian banyak informasi yang dikecualikan.
Demikian juga tentang
jumlah, komposisi, disposisi atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam
penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana
pengembangannya merupakan hal yang kerahasiaannya dilindungi berdasarkan
UU Keterbukaan Informasi Publik.
Namun, bagaimana upaya
pencegahan terjadinya korupsi di area tertutup seperti dalam kasus
pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) tersebut? Tentunya
kebijakan itu tidak cukup hanya sampai pada tataran instruksi presiden
atau sebatas MOU atau kesepakatan bersama antara Kementerian Pertahanan
dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditandatangani November 2010 lalu.
Besarnya
kemauan politik dari pemerintah untuk memajukan industri pertahanan
nasional dengan mengalokasikan 50 persen dari total anggaran pertahanan
sebesar Rp 64,4 triliun untuk alutsista harus diikuti dengan upaya
penciptaan sebuah sistem pencegahan dini terhadap tindak pidana korupsi
di bidang pertahanan. Sistem pencegahan dini tindak pidana korupsi
tersebut harus diadopsi secara komprehensif dan tegas dalam sebuah
peraturan perundang-undangan.
Dalam tataran praktik, Menteri
Pertahanan melalui Keputusan Nomor KEP/07/M/I/2011 tentang pembentukan
tim Konsultasi Pencegahan Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa (KP3B)
Kementerian Pertahanan dan TNI yang dikeluarkan pada 6 Januari 2011
berupaya mengawasi pengadaan barang dan jasa, mulai dari tahap
perencanaan hingga evaluasi kegiatan. Akan tetapi, bagaimanakah tingkat
efektivitas dari kinerja tim yang berada di bawah sebuah kementerian
jika pengadaan barang dan jasa yang diawasinya melibatkan sejumlah
jabatan yang berada satu tingkat yang sama atau bahkan di atasnya?
Untuk
itu, perlu diciptakan sebuah mekanisme pengawasan dan pemantauan
terhadap pelaksanaan kebijakan industri pertahanan dan keamanan yang
komprehensif dan sistemis. Di AS, misalnya, diterapkan kebijakan Local
Commanders Open Door Policy, Commanding General Open Door Policy,
Whistle Blowers Act, Hot Lines: Commanding General Hot-Line, Military
Police Hot-line, Criminal Investigative Detachment Hot-line, dan the DOD
Hot-line, serta NCO Support Channel.
Bagaimana dengan Indonesia?
Meski Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Saksi dan Korban, tingkat
efektivitas dari pelaksanaan UU tersebut masih menjadi pertanyaan.
Lantas dapatkah keberadaan tim-tim di bawah sebuah kementerian cukup
menjadi senjata ampuh untuk tindak pidana korupsi di bidang pertahanan?
Keberadaan
KPK merupakan institusi yang bersifat reaktif, bukan preventif. Karena
itu, pengaturan tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan
Keamanan (KKIP) yang bertugas mengoordinasikan perumusan, pelaksanaan,
dan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan dan keamanan
dalam RUU tentang Industri Pertahanan dan Keamanan perlu dirumuskan
secara komprehensif dan tegas sehingga mampu menciptakan sebuah sistem
pengawasan yang melekat di bidang pertahanan dan keamanan.
Terpusat
Namun,
sayangnya pengaturan KKIP dalam RUU tersebut bersifat terpusat.
Struktur KKIP diketuai oleh wakil presiden dan wakilnya adalah menteri
yang membidangi urusan pertahanan.
Keanggotaan utama KKIP terdiri
dari menteri yang membidangi urusan badan usaha milik negara; menteri
yang membidangi urusan perindustrian; menteri yang membidangi urusan
riset dan teknologi; menteri yang membidangi urusan pendidikan; menteri
yang membidangi urusan komunikasi dan informatika; menteri yang
membidangi urusan keuangan; menteri yang membidangi urusan perencanaan
pembangunan nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
Panglima Tentara Nasional Indonesia; dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Keanggotaan pendukung KKIP berasal dari unsur
perguruan tinggi.
RUU tentang Industri Pertahanan dan Keamanan
tidak mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme kerja KKIP dalam
melakukan pengawasan hanya diserahkan melalui pembentukan peraturan
presiden. Lantas bagaimana jika dalam sebuah kasus, penyimpangan
pengadaan atau produksi dalam industri pertahanan dan keamanan terjadi
karena tindakan penyimpangan tersebut diambil berdasarkan ketentuan lain
yang ada dalam sebuah UU?
Selain itu, RUU Industri Pertahanan
Keamanan hanya mengatur tentang tugas KKIP dan tidak memberikan
penegasan tentang kewenangan yang dimiliki KKIP. Apakah KKIP tidak akan
menjadi macan ompong lainnya seperti Komisi Penyiaran Indonesia? Karena
itu, perlu dirumuskan secara tegas dan komprehensif tentang kewenangan
serta mekanisme kerja KKIP sehingga dapat menjadi alat yang efektif
untuk mencegah terjadinya korupsi di area tertutup bidang pertahanan.
Sebagaimana dimuat dalam Kompas, Sabtu, 24 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar