Semoga dengan membaca tulisan ini kita dapat terinspirasi, bagaimana menghargai nyawa diatas keputusasaan. Fenomena keputusasaan yang berujung pada keputusan untuk bunuh diri yang mencuat belakangan ini seolah makin tak berarti jika kita bersedia mengeja ketabahan seorang Guntur Prawiro dalam menjalani hidupnya. Diatas kursi rodanya, dia mencoba merajut kembali dawai-dawai kehidupan satu persatu. Senyumannya, keceriaannya masih seperti dulu, kala kecelakaan itu belum merengut kegagahannya. Kesedihan dan keputusasaan dia kuburkan rapat-rapat, dan tiada sedikitpun tampak di raut wajah yang pucat itu.
Liburan kemarin adalah liburan yang paling berkesan bagi saya. Luar biasa karena saya tiba-tiba “dipertemukan” dengan seorang teman yang saya pikir sudah meninggal. “Itu ada Ayah teman kamu, itu lho yang kata kamu koma gara-gara kecelakaan waktu SMA dulu, Dia sudah menikah lho tahun 2005 lalu. Tapi masih harus pakai kursi roda,“ kata Mama. Kata-kata Ibu saya sangat mengejutkan bagi saya. Sebab di benak saya Guntur sudah meninggal sebab terakhir, 12 tahun yang lalu, dia tergolek lemah dengan badan penuh luka di ruang ICU sebuah rumah sakit swasta di Semarang. Darmawisata ke Bali yang sedianya dia ikuti, pun urung lantaran kecelakaan yang menimpanya saat dia mencari HT untuk keperluan wisata usai kenaikan kelas 2 SMA itu. Waktu itu saya sempat mendengar sudah tidak ada harapan lagi untuk Guntur. . Terlihat seorang Bapak tengah berbincang-bincang dengan Ayah saya. Ternyata Ayah Guntur adalah teman Ayah saya. Akhirnya sore itu saya menyambangi rumah Guntur. Sempat ada rasa khawatir menyergap, jangan-jangan Guntur tidak mengenali saya. Di ruang tamu, terpampang foto pernikahan Guntur. Untunglah, itu benar-benar Guntur yang saya kenal.
Istri Guntur yang pertama kali menyambut kami. Rasanya saya tak sabar untuk bertemu dengan teman yang saya pikir sudah meninggal, saya langsung beranjak, dan menyongsong Guntur yang datang memasuki ruang tamu. Ditengah pintu menghubung tak lepas saya memandangi Guntur yang duduk diatas kursi roda. Senyuman lebar dan ramah langsung menghiasi roman muka Guntur yang pucat. Guntur menyebutkan nama saya perlahan....Sungguh keajaiban… Hampir saja air mata saya menitik, namun sekuat mungkin saya berusaha menahannya.
Satu jam berikutnya, seolah tak terasa telah terlewatkan. Keceriaan Guntur telah mencairkan keterkejutan saya dan menghangatkan suasana. Di luar dugaan saya, ingatan Guntur ternyata masih sangat luar biasa. Dia masih mengingat teman-teman SMA-nya dulu. Alvin, Ambar, Grace, Dhenny. “Mbak masih ingat Mas Basuki kan? Dia sekarang dimana Mbak?” tanya Guntur. Dia juga masih mengingat “kakak madya” (: dalam ospek SMA dulu ada 2 kakak madya – perempuan dan laki-laki yang diberi tugas “mengampu” satu kelas dan Basuki adalah kakak Madya untuk kelas 1.3 selain saya).Namun karena jadwal silaturahim begitu banyak, terpaksa “reuni” itu harus diakhiri. Guntur dan istri beserta kedua orang tua dan adiknya mengantarkan kami sampai di pintu depan.
Rasa bangga diam-diam menyergap. Ketegaran Guntur menghadapi hidup telah mengalahkan keputusasaannya. Semangat dan keceriaan Guntur masih seperti yang dulu. Bahkan kelemahan fisiknya seolah tak mampu menyembunyikan keteguhan seorang Guntur dalam menyikapi takdir yang harus diterimanya.
Walaupun luka bekas jahitan ada di sekujur tubuhnya, namun tetap saja celoteh riang seorang Guntur mampu mencairkan suasana. Bahkan dia mampu mencandai saya yang sempat melamun. Tak setitik pun dia menyesali takdirnya. Tiada sepatah kata pun yang memperlihatkan kesedihan seorang yang telah kehilangan kegagahannya...namun justru ketegaran dan keteguhan jiwanya yang membuat sosok Guntur tetap kokoh seperti dulu. Tak terasa rasa hormat saya makin membumbung. Melihat kegigihan seorang Guntur memperjuangkan hidupnya, rasanya makin tak ada ruang untuk memahami alasan seorang yang tega meghabisi nyawanya sendiri hanya karena sebuah alasan sepele, putus cinta, tidak lulus ujian, mengidap penyakit yang tak kunjung sembuh atau alasan lainnya.
Hidup memang mengandung berjuta misteri,begitu banyak ujian dan rintangan.Namun dengan sikap ikhlas menerima semua ujian-lah yang mampu menjadikan manusia yang sesungguhnya. Disini, saya belajar lebih menghargai sebuah kehidupan yang telah diberikan Sang Maha Pencipta kepada saya dari seorang Guntur Prawiro.... Tak pernah sedetikpun dia menyesali kecacatannya, justru dia terus menerus mensyukuri karunia Sang Pencipta yang telah memberinya kehidupan “kedua” setelah tidur panjangnya...teruslah berjuang sobat...tetaplah bersemangat dalam mengarungi hidup ini sama seperti dulu..doa kami akan selalu menyertai perjalananmu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar