BuNdaaa ♏äϋ piloooot1 buuund
Cariiiim bun
(Ơ̴̴̴͡ ˛̮ Ơ̴̴̴͡)
Saya tertegun membaca komen dari salah satu status saya…komen itulah yang akhirnya mendorong saya untuk menulis catatan ini, meski hmm *sambil tersenyum kecil* saya tak tahu seberapa tepat catatan saya ini. Satu hal, sebelum memutuskan saya terbiasa belajar memahami sedetail mungkin apa yang akan menjadi pilihan yang tentu akan saya jalani seumur hidup saya itu.
Sejak kecil saya memang menyukai pesawat, tapi pesawat tempur, bukan komersial mungkin karena video yang suka saya tonton, Captain Gavan dan Sharifan. Tapi belakangan saya paham ada satu hal yang membedakan, jika pilot pesawat tempur mengalami masalah dapat segera memanfaatkan kursi lontar untuk menyelamatkan diri, bagaimana dengan pilot komersial? Hehe, rasanya harus siap-siap untuk “dikriminalisasikan” seperti yang dialami captain Marwoto (karena itu saya benar-benar berharap pengadilan khusus sebagaimana diamanatkan UU Penerbangan dapat segera terwujud).
Ulasan singkat diatas hanya sekedar pembuka catatan tentang “menjadi istri seorang pilot” meski maaf, saya hanya memiliki kemampuan menulis tentang “menjadi istri seorang pilot” komersial bukan pilot pesawat tempur sebab sebagai peneliti saya tidak berani menulis sesuatu yang saya belum mengamati atau setidaknya mendapatkan beberapa fakta tentangnya.
Saya mencoba menulis dari sisi pandang sekomprehensif mungkin, meski jelas jauh dari sempurna.
1)Jadwal pilot jauh berbeda dengan jadwal “orang kebayakan”. Meski “jadwal yang kurang baik” akan memberikan 12 days off. Jadwal seorang pilot bukanlah seperti jadwal kerja yang rutin dari “orang kebanyakan” dimana mereka bangun pada jam yang sama dan pulang pada jam yang sama (saya sudah merasakan bagaimana rasanya dengan jam terbang pulang kampung dengan SJ 220 ETD 19.05 dan kembali dengan SJ 221 ETD 06.35_hmm serasa “berangkat kerja bersamaan waktunya dengan maling pulang” hehe…)
2) Terkadang jika “apes” bisa mendapat jatah lebih dari 10 leg yang artinya kita harus ridha untuk ditinggal selama 3 hari. Bukan hal yang luar biasa jika mereka sarapan di Jakarta, makan siang di Surabaya, lantas makan malam di Banjarmasin. Wajar jika terkadang mereka harus melihat HP untuk mengetahui di kota mana mereka berada…what’s a life….kira-kira begitu “keluhan” yang kerap terdengar. Bahkan mereka kerap tidak “sadar” kalau itu adalah akhir pekan, meski kerap diantara mereka berusaha menghibur diri sendiri dengan mengucapkan “happy weekend all…..”hihi….(:tertawa meski terasa perih di hati, tapi setidaknya mereka tersenyum karena dapat merasakan kebahagiaan orang-orang yang mereka antar berlibur).
3) Bagaimana pun juga maskapai adalah sebuah industri pencetak uang. Artinya disadari atau tidak, seperti industri lainnya akan “memeras” sumber daya yang mereka miliki untuk menghasilkan uang. Wajar jika para pilot demo akibat jadwal terbang mereka melebihi ambang kewajaran seperti Riau Airlines yang kerap menetapkan jadwal rata-rata 7 leg dalam 1 hari!
4) Hmm, tidak selamanya mereka dapat terbang. MEDEX tiap 6 bulan sekali adalah salah satu penentunya. Bagaimana jika mereka “tidak lulus” MEDEX?? Jadi rajin-rajinlah menabung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pilot mulai tingkat depresi yang tinggi sampai pada gangguan kesehatan lainnya (:baca artikel Pilot dan Kesehatannya di Kompasiana).
5) Belajar untuk selalu “menghormati waktu”. Tepat waktu, on time adalah suatu keharusan. Tidak ada alasan apapun yang dapat dijadikan alasan! Termasuk macet di jalan raya! Jadi terbayangkan jam berapa mereka harus siap untuk dijemput? Sebab mereka harus sampai jauh sebelum jam keberangkatan dan mengecek semua kondisi pesawat.
6) Pahami kondisi dunia penerbangan termasuk didalamnya cuaca. Bulan Desember - Januari untuk Indonesia adalah bulan rawan. Dengan melihat kondisi cuaca maka kita dapat memperkirakan ketepatan waktu kedatangan mereka.
7) Sama seperti dokter, mereka harus disiap menerima tilp yang menanyakan dimana mereka berada dan siap untuk di re-schedule, atau mendadak dapat panggilan terbang terlebih jika statusnya stand by.
8) Horee!! Ayah sudah datang!! Lantas?? Hihi….tidak seperti “profesi kebanyakan” yang dengan seenaknya kita bisa meminta kelegaan hati mereka untuk “terjun” membantu pekerjaan rumah tangga. Beri mereka “waktu untuk melepaskan ketengangan”. Sehebat apapun pilot, tekanan saat take off dan landing tetap ada sebab “keselamatan penerbangan” dan terutama penumpang ada dipundak mereka. Hitungannya menurut pengakuan salah seorang dari mereka misalnya dalam kondisi peak season seperti lebaran dan natal untuk boeing 737-300 kapasitas maksimum 149 hitungannya 149 penumpang ditambah 3 (istri dan 2 anak) plus FA (flight attendant) dengan hitungan yang sama.
Kurang lebih seperti itulah “menjadi istri seorang pilot”. Kemandirian seorang istri pilot adalah mutlak. Bagaimana mengatasi listrik mati saat mereka ron 3 malam, atau bahkan ketika anak sakit harus masuk rumah sakit, well….kita tidak bisa seenaknya telpon “Ayah cepetan pulang, si A masuk rumah sakit!” Atau kecilnya mereka tidak ada waktu untuk mengurusi hal yang “remeh temeh” seperti ambil rapor….termasuk jika kita sakit….^_~ tapi percaya sama dengan pecinta lainnya mereka akan berusaha semaksimal mungkin demi orang-orang yang mereka cintai untuk mensyukuri hari ulang tahun mereka dengan makan malam romantis sekalipun mereka harus meminta pertolongan sahabat mereka untuk saling menukar jadwal.
Satu hal yang pasti, menjadi istri seorang pilot berarti kita tiada boleh letih berdoa demi keselamatan pasangan kita. belum lagi kalau kita soulmate, kondisi darurat apa yang dihadapi dapat benar-benar kita rasakan, seolah melihat “maut” didepan mata dan kita sadar bahwa keselamatan penumpang dan seluruh crew berada di tangan kita….seperti terhimpit beban yang begitu kuat dan nyaris tak mampu bernafas….namun kita tetap harus mampu berpikir jernih, menganalisa dengan berusaha tetap tenang….
Tapi sekali lagi ini hanyalah dalam pandangan saya yang pastinya jauh dari kesempurnaan. Intinya sih “menjadi istri pilot?? Siapkah??” Fasten your seat belt please….^_^
di ketik langsung dari BB saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Semarang….salam, teriring doa bagi semua yang ada dalam perjalanan….
Sabtu, 24 Desember 2011 pukul 2:59
sudah dimuat di : http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/24/menjadi-istri-pilot-siapkah-424799.html
Cariiiim bun
(Ơ̴̴̴͡ ˛̮ Ơ̴̴̴͡)
Saya tertegun membaca komen dari salah satu status saya…komen itulah yang akhirnya mendorong saya untuk menulis catatan ini, meski hmm *sambil tersenyum kecil* saya tak tahu seberapa tepat catatan saya ini. Satu hal, sebelum memutuskan saya terbiasa belajar memahami sedetail mungkin apa yang akan menjadi pilihan yang tentu akan saya jalani seumur hidup saya itu.
Sejak kecil saya memang menyukai pesawat, tapi pesawat tempur, bukan komersial mungkin karena video yang suka saya tonton, Captain Gavan dan Sharifan. Tapi belakangan saya paham ada satu hal yang membedakan, jika pilot pesawat tempur mengalami masalah dapat segera memanfaatkan kursi lontar untuk menyelamatkan diri, bagaimana dengan pilot komersial? Hehe, rasanya harus siap-siap untuk “dikriminalisasikan” seperti yang dialami captain Marwoto (karena itu saya benar-benar berharap pengadilan khusus sebagaimana diamanatkan UU Penerbangan dapat segera terwujud).
Ulasan singkat diatas hanya sekedar pembuka catatan tentang “menjadi istri seorang pilot” meski maaf, saya hanya memiliki kemampuan menulis tentang “menjadi istri seorang pilot” komersial bukan pilot pesawat tempur sebab sebagai peneliti saya tidak berani menulis sesuatu yang saya belum mengamati atau setidaknya mendapatkan beberapa fakta tentangnya.
Saya mencoba menulis dari sisi pandang sekomprehensif mungkin, meski jelas jauh dari sempurna.
1)Jadwal pilot jauh berbeda dengan jadwal “orang kebayakan”. Meski “jadwal yang kurang baik” akan memberikan 12 days off. Jadwal seorang pilot bukanlah seperti jadwal kerja yang rutin dari “orang kebanyakan” dimana mereka bangun pada jam yang sama dan pulang pada jam yang sama (saya sudah merasakan bagaimana rasanya dengan jam terbang pulang kampung dengan SJ 220 ETD 19.05 dan kembali dengan SJ 221 ETD 06.35_hmm serasa “berangkat kerja bersamaan waktunya dengan maling pulang” hehe…)
2) Terkadang jika “apes” bisa mendapat jatah lebih dari 10 leg yang artinya kita harus ridha untuk ditinggal selama 3 hari. Bukan hal yang luar biasa jika mereka sarapan di Jakarta, makan siang di Surabaya, lantas makan malam di Banjarmasin. Wajar jika terkadang mereka harus melihat HP untuk mengetahui di kota mana mereka berada…what’s a life….kira-kira begitu “keluhan” yang kerap terdengar. Bahkan mereka kerap tidak “sadar” kalau itu adalah akhir pekan, meski kerap diantara mereka berusaha menghibur diri sendiri dengan mengucapkan “happy weekend all…..”hihi….(:tertawa meski terasa perih di hati, tapi setidaknya mereka tersenyum karena dapat merasakan kebahagiaan orang-orang yang mereka antar berlibur).
3) Bagaimana pun juga maskapai adalah sebuah industri pencetak uang. Artinya disadari atau tidak, seperti industri lainnya akan “memeras” sumber daya yang mereka miliki untuk menghasilkan uang. Wajar jika para pilot demo akibat jadwal terbang mereka melebihi ambang kewajaran seperti Riau Airlines yang kerap menetapkan jadwal rata-rata 7 leg dalam 1 hari!
4) Hmm, tidak selamanya mereka dapat terbang. MEDEX tiap 6 bulan sekali adalah salah satu penentunya. Bagaimana jika mereka “tidak lulus” MEDEX?? Jadi rajin-rajinlah menabung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pilot mulai tingkat depresi yang tinggi sampai pada gangguan kesehatan lainnya (:baca artikel Pilot dan Kesehatannya di Kompasiana).
5) Belajar untuk selalu “menghormati waktu”. Tepat waktu, on time adalah suatu keharusan. Tidak ada alasan apapun yang dapat dijadikan alasan! Termasuk macet di jalan raya! Jadi terbayangkan jam berapa mereka harus siap untuk dijemput? Sebab mereka harus sampai jauh sebelum jam keberangkatan dan mengecek semua kondisi pesawat.
6) Pahami kondisi dunia penerbangan termasuk didalamnya cuaca. Bulan Desember - Januari untuk Indonesia adalah bulan rawan. Dengan melihat kondisi cuaca maka kita dapat memperkirakan ketepatan waktu kedatangan mereka.
7) Sama seperti dokter, mereka harus disiap menerima tilp yang menanyakan dimana mereka berada dan siap untuk di re-schedule, atau mendadak dapat panggilan terbang terlebih jika statusnya stand by.
8) Horee!! Ayah sudah datang!! Lantas?? Hihi….tidak seperti “profesi kebanyakan” yang dengan seenaknya kita bisa meminta kelegaan hati mereka untuk “terjun” membantu pekerjaan rumah tangga. Beri mereka “waktu untuk melepaskan ketengangan”. Sehebat apapun pilot, tekanan saat take off dan landing tetap ada sebab “keselamatan penerbangan” dan terutama penumpang ada dipundak mereka. Hitungannya menurut pengakuan salah seorang dari mereka misalnya dalam kondisi peak season seperti lebaran dan natal untuk boeing 737-300 kapasitas maksimum 149 hitungannya 149 penumpang ditambah 3 (istri dan 2 anak) plus FA (flight attendant) dengan hitungan yang sama.
Kurang lebih seperti itulah “menjadi istri seorang pilot”. Kemandirian seorang istri pilot adalah mutlak. Bagaimana mengatasi listrik mati saat mereka ron 3 malam, atau bahkan ketika anak sakit harus masuk rumah sakit, well….kita tidak bisa seenaknya telpon “Ayah cepetan pulang, si A masuk rumah sakit!” Atau kecilnya mereka tidak ada waktu untuk mengurusi hal yang “remeh temeh” seperti ambil rapor….termasuk jika kita sakit….^_~ tapi percaya sama dengan pecinta lainnya mereka akan berusaha semaksimal mungkin demi orang-orang yang mereka cintai untuk mensyukuri hari ulang tahun mereka dengan makan malam romantis sekalipun mereka harus meminta pertolongan sahabat mereka untuk saling menukar jadwal.
Satu hal yang pasti, menjadi istri seorang pilot berarti kita tiada boleh letih berdoa demi keselamatan pasangan kita. belum lagi kalau kita soulmate, kondisi darurat apa yang dihadapi dapat benar-benar kita rasakan, seolah melihat “maut” didepan mata dan kita sadar bahwa keselamatan penumpang dan seluruh crew berada di tangan kita….seperti terhimpit beban yang begitu kuat dan nyaris tak mampu bernafas….namun kita tetap harus mampu berpikir jernih, menganalisa dengan berusaha tetap tenang….
Tapi sekali lagi ini hanyalah dalam pandangan saya yang pastinya jauh dari kesempurnaan. Intinya sih “menjadi istri pilot?? Siapkah??” Fasten your seat belt please….^_^
di ketik langsung dari BB saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Semarang….salam, teriring doa bagi semua yang ada dalam perjalanan….
Sabtu, 24 Desember 2011 pukul 2:59
sudah dimuat di : http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/24/menjadi-istri-pilot-siapkah-424799.html