“Ladies
and gentlemen, this is your captain speaking. We have a small problem.
All four engines have stopped. We are doing our damnedest to get them
going again. I trust you are not in too much distress.” (captain. Eric
Moody)
Menganalogikan
memimpin sebuah negara dengan sebuah penerbangan kerap kita lakukan
sedari dulu. Meski ada beberapa analogi tersebut terasa kurang tepat
seperti pada saat sebuah media cetak ternama yang juga mengangkat tema
yang sama dalam sebuah dialog di media televisinya dengan tajuk “Negara
Autopilot” meski saya pahami peristilahan itu digunakan untuk menyindir
tentang keberadaan pilot (pemimpin negara).
Istilah tinggal landas misalnya sangat akrab di telinga kita pada Era kepemimpinan Presiden Soeharto. “Telah menjadi tekad nasional kita yang sebulat-bulatnya, seperti yang kita amanatkan sendiri pada diri kita dalam GBHN 1983, bahwa dalam Repelita IV itu kita akan menciptakan kerangka landasan dan dalam Repelita V melanjutkannya dalam usaha mewujudkan landasan yang kukuh kuat bagi terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Di saat itulah –mulai Repelita ke-VI– kita akan mampu tinggal landas menuju masyarakat yang kita cita-citakan.” Begitulah salah satu nukilan paragraf dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto didepan DPR RI pada 16 Agustus 1984.
Ibarat
terbang, agar dapat take off dengan baik, maka sebuah pesawat harus
melaju begitu kencang dan kuat dengan tetap menjaga keseimbangan dengan
bantuan dua sisi sayap agar tidak terhempas ke daratan dan justru
membuat celaka para penumpang didalamnya.
Jika
negara kita dianalogikan dengan negeri autopilot, secara tidak langsung
yang menganalogikan negara kita dengan istilah tersebut mengakui bahwa
kita telah take off dan telah meninggalkan landasan dan tengah cruising.
Sebab sistem autopilot sepemahaman saya dioperasikan setelah pesawat dalam keadaan cruising.
Sebab
sejauh ini pesawat yang dapat dioperasikan secara auto (tanpa pilot)
dari take off, cruising hingga landing biasanya hanya berfungsi sebagai
pengintai, pembuat peta, pembuat foto udara dll namun belum pernah ada
pesawat dengan penumpang yang dapat dioperasikan secara auto dari take
off hingga landing.
Pesawat
penumpang sejauh ini tidak pernah di design untuk melakukan take-off
dengan Autopilot. Autopilot baru boleh dioperasikan minimum pada 400feet
AGL (Above Ground Level) atau 400 kaki dari permukaan untuk pesawat penumpang berkapasitas besar seperti boeing atau 30
feet untuk pesawat berjenis Fokker 100/70 atau 100 feet/5 second after
lift off untuk jenis pesawat penumpang Airbus. Untuk mengoperasikan
sistem autopilot, sebelum take-off, para FO (first Officer/co-pilot)
sudah mengkalkulasikan berapa persentase center of gravity (: titik Berat )berdasarkan peletakan payload (: daya angkut pesawat) di dalam pesawat yang menentukan berapa unit stabtrim (: sistem yang digunakan untuk menjaga stabilitas horisontal saat pesawat terbang) yang dibutuhkan.
PILOT KOMUNIKATIF
Ada
perkembangan yang menarik saat menikmati penerbangan belakangan ini.
Para Pilot maupun FOO lebih komunikatif. Layaknya penyiar radio
menginformasikan waktu tempuh, berapa ketinggian saat menjelajah
angkasa, cuaca serta terkadang beberapa kondisi yang harus dihadapi
dalam penerbangan. “Dalam penerbangan ini kita akan terbang cuaca yang
kurang baik sehingga kita akan mengalami guncangan-guncangan kecil, “
begitu kalimat yang disampaikan Captain Laurencius yang saya dengar dalam penerbangan dari Polonia ke Soekarno Hatta.
Namun yang menarik untuk dipelajari adalah sekomunikatif apapun seorang Pilot/co pilot namun tidak pernah pilot/co
pilot menyampaikan perasaannya yang cemas, ketakutan atau khawatir
ataupun merasa terancam saat menerbangkan pesawatnya sekalipun pada saat
terbang dalam cuaca buruk. Itulah salah satu hakekat “kepemimpinan”
sesungguhnya dalam pandangan saya.
Seorang
pemimpin, layaknya seorang pilot harus mampu memisahkan informasi yang
seharusnya diketahui oleh penumpangnya dalam batasan-batasan dengan
diketahuinya informasi tersebut penumpang akan lebih siap menghadapi
segala kemungkinan terburuk. Seburuk apapun kondisi yang harus dihadapi
sebuah penerbangan seorang pemimpin layaknya seorang pilot harus
benar-benar menyaring informasi yang ingin dikomunikasikan ke penumpang
seperti yang dilakukan Captain Eric Moody. Meski ke-4 mesin British
Airways Nomor Penerbangan 9 Captain pada 24 Juni 1982 mati karena abu
vulkanik Galunggung, namun dengan tenang Captain Eric Moody berusaha
menyampaikan kondisi yang dialami dalam penerbangan dan meminta
penumpang tetap tenang.
Telah dimuat dalam : http://politik.kompasiana.com/2012/02/27/belajar-memimpin-dari-pilot/ OPINI | 27 February 2012 | 15:29