Jul 30, 2011
Nama saya
Felix Y. Siauw, kelahiran Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam
jangka waktu yang lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak sekali
kesulitan dan kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling bahagia bagi
saya, yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengganti keyakinan dengan
mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya Tuhan dan sesembahan. Tahun 2006
ketika saya menikahi seorang muslimah yang kelak memberikan saya 2 momen
bahagia lagi; kelahiran Alila Shaffiya asy-Syarifah pada tahun 2008 dan Shifr
Muhammad al-Fatih 1453 pada tahun 2010.
Dari nama
yang saya publish, sebagian besar pasti memahami bahwasanya saya tergolong
etnis Cina. Dan inilah salahsatu sebab kenapa saya menulis tulisan ini, disamping
alasan utamanya adalah karena kewajiban mendakwahkan Islam dan
pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia. Ini adalah sebuah curahan hati dan
aduan serta penjelasan dari seorang Ayah, Muslim-“Cina”. Walaupun banyak kasus
lain yang saya alami berkaitan dengan ide bid’ah nasionalisme yang diwariskan
Belanda dan Barat, saya akan sedikit memfokuskan pada satu kisah yang baru saja
saya alami. Berawal ketika Istri saya yang melahirkan anak keduanya di RS. Budi
Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah itu seperti biasa, atas nama pribadi ada
beberapa karyawan yang menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran putra saya. Dan
kami pun menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan harga Rp. 100.000. Tak
berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik saya, lalu dia bertanya pada
istri: “Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?” “Muslim kok, emang kenapa
mbak?” Jawab istri saya santai,
“Nikahnya
pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan
beda juga biayanya..” “Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi,
Istri saya tetap berusaha santai “Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000”
Setelah memberitahu saya perihal percakapan ini, dengan agak kesal saya pun
mencoba membuktikan perkataan istri saya tadi. Ternyata benar, ada diskriminasi
kepengurusan akte kelahiran, dan dokumen yang diperlukan pun lebih daripada
yang biasanya. Walau saya desak dengan berbagai dalil, termasuk dengan dalil
bahwa penghapusan istilah WNI Keturunan sudah dilakukan, tetap saja tidak ada
penjelasan yang memadai kepada saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya
memutuskan untuk mengurus sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan masalah
uang, ini masalah ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang toleransi. Langkah
pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil ;
http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/produk-a-layanan/akta-kelahiran,
dan disitu saya mendapatkan informasi bahwa pembuatan akte kelahiran biayanya
gratis s/d Rp. 5000. Dan syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK, KTP Orangtua,
dan Surat Pengantar RT/RW yang dilegalkan Kelurahan. Ternyata setelah saya
datang pada hari Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah meminta akte kelahiran untuk
dikonfirmasi apakah saya warga keturunan atau bukan. Dan sekali lagi saya
katakan bahwa urusan keturunan sudah tidak ada, semua yang dilahirkan di tanah
Indonesia adalah WNI. Dan setelah itu akhirnya saya tetap diminta membayar Rp.
70.000, sebelum membayar saya menanyakan bukti pembayarannya, sedikit gagap
petugas menyatakan bahwa lembar bukti penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi
bukti pembayaran (nanti coba kita liat ya).
Dan yang
paling menyakitkan, ditulis lagi dalam keterangan permintaan akte kelahiran
bahwa anak saya termasuk Stbld. 1917. Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih
berlaku tuh stbld?” “Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu” “Oh gitu,
kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak
dipahami petugas bersangkutan. Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita
masuk ke pokok pembahasan. 1. Inilah budaya pegawai negeri Indonesia yang jauh
dari kesan profesional dan korup, birokrasi yang terbiasa tidak jujur dan
selalu mencari kesempatan atas minimnya data yang mereka beri kepada masyarakat
yang membutuhkan pelayanan. Sehingga seolah-olah masyarakat yang harus membayar
mereka karena pelayanan itu, padahal pelayanan mereka sudah dibayar oleh
negara. Sampai setelah saya membayar Rp. 70.000 itu, saya tidak mengetahui
kemana uang ini dialokasikan, dan parahnya yang menerima uang ini adalah
muslim. Saya terima kalau yang melakukan korupsi ini bila bukan muslim, tapi
pelakunya sekali lagi adalah muslim, yang seharusnya menjadi pekerja yang
paling jujur karena aqidahnya memerintahkan begitu 2.
Budaya
rasialis dan nasionalisme kampungan rupanya masih menjadi mental ummat Islam
saat ini. Mereka membedakan antara pribumi dan keturunan. Tanpa mereka ketahui
bahwa cara ini adalah strategi utama belanda dalam melakukan politik divide et
impera dan menghancurkan sendi ekonomi dan masyarakat. Politik rasialis ini
dimulai ketika VOC dan Pemerintah Belanda membagi kelompok masyarakat menjadi
Inlander (pribumi) dan Vreemde Oosterlinge (Orang Timur Asing, termasuk Cina,
Arab dan India)(lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/3523),
lalu memberikan akses ekonomi kepada Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina
sehingga pecahlah permusuhan dan kebencian antara Inlander dan Vreemde
Oosterlinge (lihat Buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara). Politik
rasialis ini bahkan dimulai semenjak awal pencatatan akta kelahiran dengan
membedakan antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge, antara agama penjajah
Belanda Kristen dan Katolik serta Islam. Lihat saja akte kelahiran Anda yang
muslim pribumi akan mendapatkan kode Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani
pribumi mendapatkan kode Stbld. 1933, warga keturunan dari timur (Cina, Arab,
India, dan lainnya) dengan Stbld. 1917 (lihat http://www.jasaumum.com/akteKelahiran.htm).
Akta
kelahiran inilah yang menjadi dasar dalam perbedaan perilaku penjajah Belanda
dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan status sosial. Sayangnya (baca:
bodohnya), pemerintah Indonesia justru mengadopsi Stbld. (Staatsblad, artinya
Peraturan Pemerintah Belanda) menjadi aturan dalam pencatatan kelahiran yang
otomatis dari awal sudah membedakan membuat rasial penduduknya berdasarkan cara
penjajah Belanda membedakannya. Jadi ketahuan sekali bahwa negara kita secara
hukum dan ekonomi masih terjajah dan samasekali belum merdeka. Nah, wajar kan
kalau kita liat konflik horizontal maupun vertikal atas nama etnis masih
terjadi di negeri ini? karena memang dari awal pemerintah Indonesia sudah
meniatkannya. Membebek penjajah Belanda. Dan hampir sebagian besar hukum kita
adalah adopsi Belanda. Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?! Inilah ikatan-ikatan
yang merusak dan terbukti menimbulkan perpecahan dan konflik yang tak
berkesudahan. Ikatan yang muncul dari pemikiran yang dangkal dan sempit. Ikatan
etnisitas, kekauman dan juga termasuk ikatan nasionalisme kampungan. Ikatan
inilah yang menyebabkan muslim Indonesia tidak memperdulikan muslim Palestina
hanya karena dibatasi oleh garis-garis khayal batas negara. Ikatan ini juga
yang memenangkan penjajah Belanda ketika membelah ummat Islam Indonesia atas
nama etnis. Dan ikatan ini pula yang menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki,
Mesir, Irak, Iran dan semua negara muslim saat ini terpecah belah padahal
dahulunya mereka adalah satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang harus
dimusnahkan: fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita kenal dengan
kata ashabiyah. Padahal Rasulullah dengan sangat jelas telah mewanti-wanti agar
kita jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu yang tidak pernah dipilih
manusia atau bagian dari qadar Allah.
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسامكم ولكن
ينظر إلى قلوبكم وإلى أعمالكم Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah
kalian dan tidak pula kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat
qalbu (akal dan hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu
Majah dari Abu Hurrairah) Maka benarlah dalam aturan kewarganegaraan Daulah
Madinah ketika Rasulullah saw. menjadi kepala negara, beliau saw. hanya
membedakan 2 jenis penduduk; muslim dan kafir. Begitu pula yang dilaksanakan
Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan Khalifah-khalifah setelah mereka sampai
runtuhnya Daulah Khilafah Islam Utsmaniyah tahun 1924. Artinya pembedaan
kewarganegraan adalah berdasarkan pengakuannya atas Islam, bukan yang lain
seperti fanatisme golongan atau bangsa. Juga larangan sempurna dari Rasulullah
atas sikap fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang dirangkum dalam
larangan ashabiyah
ومن قاتل تحت
راية عمّيّة يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة، فقتل، فقتلة جاهليّة
Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah kerena suku, atau
menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia terbunuh secara
jahiliyah (HR Muslim)
ليس منا من
دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية Bukan dari
golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari
golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk
golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud) Tidak ada
keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan
tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’ashub) karena warna kulitnya
melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena
daerahnya melebihi daerah orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan Islam
menaruh ikatan semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena pemikiran
semacam ini adalah batil. Tapi inilah kondisi masyarakat dan ummat, mereka
mempunyai cap tertentu bagi etnis tertentu, dan akhirnya bukan melihat karena
ketakwaannya tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya karena seseorang berwajah
Arab lantas setiap bertemu tangannya dicium, karena persangkaan bahwa arab
identik dengan Islam (ironis). Hanya karena seseorang berwajah Cina lantas
diidentikkan dengan kafir? (lebih ironis), lebih aneh lagi kalau ketemu bule
semuanya serba senang, sumringah dan berjalan menunduk (kacau). Inilah
mental-mental terjajah, mental yang sangat ridha dan bangga kepada negara yang
menjajahnya tapi lupa sama sekali dengan Tuhan yang menciptakan dirinya dan
memberinya kenikmatan. Padahal kita semua sebagai muslim tidak diseru kecuali
berpegang pada aqidah yang satu, ikatan yang satu, perintah yang satu dan
kepemimpinan yang satu. Tauhid dalam segala bidang.
Nama saya Felix Y.
Siauw, kelahiran Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam
jangka waktu yang lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak
sekali kesulitan dan kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling
bahagia bagi saya, yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk
mengganti keyakinan dengan mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya
Tuhan dan sesembahan. Tahun 2006 ketika saya menikahi seorang muslimah
yang kelak memberikan saya 2 momen bahagia lagi; kelahiran Alila
Shaffiya asy-Syarifah pada tahun 2008 dan Shifr Muhammad al-Fatih 1453
pada tahun 2010.
Felix Y. Siauw curahan hati seorang warga keturunan Tionghoa Muslim di
Indonesia
Felix Y. Siauw curahan hati seorang warga keturunan Tionghoa Muslim di
Indonesia
Dari nama yang saya publish, sebagian besar pasti memahami bahwasanya
saya tergolong etnis Cina. Dan inilah salahsatu sebab kenapa saya
menulis tulisan ini, disamping alasan utamanya adalah karena kewajiban
mendakwahkan Islam dan pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia. Ini
adalah sebuah curahan hati dan aduan serta penjelasan dari seorang Ayah,
Muslim-“Cina”. Walaupun banyak kasus lain yang saya alami berkaitan
dengan ide bid’ah nasionalisme yang diwariskan Belanda dan Barat, saya
akan sedikit memfokuskan pada satu kisah yang baru saja saya alami.
Berawal ketika Istri saya yang melahirkan anak keduanya di RS. Budi
Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah itu seperti biasa, atas nama pribadi
ada beberapa karyawan yang menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran
putra saya. Dan kami pun menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan
harga Rp. 100.000. Tak berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik
saya, lalu dia bertanya pada istri:
“Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?”
“Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai,
“Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah
ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..”
“Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya
tetap berusaha santai
“Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000”
Setelah memberitahu saya perihal percakapan ini, dengan agak kesal saya
pun mencoba membuktikan perkataan istri saya tadi. Ternyata benar, ada
diskriminasi kepengurusan akte kelahiran, dan dokumen yang diperlukan
pun lebih daripada yang biasanya. Walau saya desak dengan berbagai
dalil, termasuk dengan dalil bahwa penghapusan istilah WNI Keturunan
sudah dilakukan, tetap saja tidak ada penjelasan yang memadai kepada
saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya memutuskan untuk mengurus
sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan masalah uang, ini masalah
ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang toleransi.
Langkah pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil ;
http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/produk-a-layanan/akta-kelahiran,
dan disitu saya mendapatkan informasi bahwa pembuatan akte kelahiran
biayanya gratis s/d Rp. 5000. Dan syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK,
KTP Orangtua, dan Surat Pengantar RT/RW yang dilegalkan Kelurahan.
Ternyata setelah saya datang pada hari Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah
meminta akte kelahiran untuk dikonfirmasi apakah saya warga keturunan
atau bukan. Dan sekali lagi saya katakan bahwa urusan keturunan sudah
tidak ada, semua yang dilahirkan di tanah Indonesia adalah WNI. Dan
setelah itu akhirnya saya tetap diminta membayar Rp. 70.000, sebelum
membayar saya menanyakan bukti pembayarannya, sedikit gagap petugas
menyatakan bahwa lembar bukti penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi
bukti pembayaran (nanti coba kita liat ya). Dan yang paling menyakitkan,
ditulis lagi dalam keterangan permintaan akte kelahiran bahwa anak saya
termasuk Stbld. 1917.
Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih berlaku tuh stbld?”
“Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu”
“Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang
tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan.
Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita masuk ke pokok
pembahasan.
1. Inilah budaya pegawai negeri Indonesia yang jauh dari kesan
profesional dan korup, birokrasi yang terbiasa tidak jujur dan selalu
mencari kesempatan atas minimnya data yang mereka beri kepada masyarakat
yang membutuhkan pelayanan. Sehingga seolah-olah masyarakat yang harus
membayar mereka karena pelayanan itu, padahal pelayanan mereka sudah
dibayar oleh negara. Sampai setelah saya membayar Rp. 70.000 itu, saya
tidak mengetahui kemana uang ini dialokasikan, dan parahnya yang
menerima uang ini adalah muslim. Saya terima kalau yang melakukan
korupsi ini bila bukan muslim, tapi pelakunya sekali lagi adalah muslim,
yang seharusnya menjadi pekerja yang paling jujur karena aqidahnya
memerintahkan begitu
2. Budaya rasialis dan nasionalisme kampungan rupanya masih menjadi
mental ummat Islam saat ini. Mereka membedakan antara pribumi dan
keturunan. Tanpa mereka ketahui bahwa cara ini adalah strategi utama
belanda dalam melakukan politik divide et impera dan menghancurkan sendi
ekonomi dan masyarakat.
Politik rasialis ini dimulai ketika VOC dan Pemerintah Belanda membagi
kelompok masyarakat menjadi Inlander (pribumi) dan Vreemde Oosterlinge
(Orang Timur Asing, termasuk Cina, Arab dan India)(lihat
http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/3523), lalu
memberikan akses ekonomi kepada Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina
sehingga pecahlah permusuhan dan kebencian antara Inlander dan Vreemde
Oosterlinge (lihat Buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara).
Politik rasialis ini bahkan dimulai semenjak awal pencatatan akta
kelahiran dengan membedakan antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge,
antara agama penjajah Belanda Kristen dan Katolik serta Islam. Lihat
saja akte kelahiran Anda yang muslim pribumi akan mendapatkan kode
Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani pribumi mendapatkan kode Stbld.
1933, warga keturunan dari timur (Cina, Arab, India, dan lainnya) dengan
Stbld. 1917 (lihat http://www.jasaumum.com/akteKelahiran.htm). Akta
kelahiran inilah yang menjadi dasar dalam perbedaan perilaku penjajah
Belanda dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan status sosial.
Sayangnya (baca: bodohnya), pemerintah Indonesia justru mengadopsi
Stbld. (Staatsblad, artinya Peraturan Pemerintah Belanda) menjadi aturan
dalam pencatatan kelahiran yang otomatis dari awal sudah membedakan
membuat rasial penduduknya berdasarkan cara penjajah Belanda
membedakannya. Jadi ketahuan sekali bahwa negara kita secara hukum dan
ekonomi masih terjajah dan samasekali belum merdeka. Nah, wajar kan
kalau kita liat konflik horizontal maupun vertikal atas nama etnis masih
terjadi di negeri ini? karena memang dari awal pemerintah Indonesia
sudah meniatkannya. Membebek penjajah Belanda. Dan hampir sebagian besar
hukum kita adalah adopsi Belanda.
Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?!
Inilah ikatan-ikatan yang merusak dan terbukti menimbulkan perpecahan
dan konflik yang tak berkesudahan. Ikatan yang muncul dari pemikiran
yang dangkal dan sempit. Ikatan etnisitas, kekauman dan juga termasuk
ikatan nasionalisme kampungan. Ikatan inilah yang menyebabkan muslim
Indonesia tidak memperdulikan muslim Palestina hanya karena dibatasi
oleh garis-garis khayal batas negara. Ikatan ini juga yang memenangkan
penjajah Belanda ketika membelah ummat Islam Indonesia atas nama etnis.
Dan ikatan ini pula yang menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki, Mesir,
Irak, Iran dan semua negara muslim saat ini terpecah belah padahal
dahulunya mereka adalah satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang
harus dimusnahkan: fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita
kenal dengan kata ashabiyah.
Padahal Rasulullah dengan sangat jelas telah mewanti-wanti agar kita
jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu yang tidak pernah dipilih
manusia atau bagian dari qadar Allah.
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسامكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وإلى
أعمالكم
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah kalian dan tidak pula
kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan
hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari
Abu Hurrairah)
Maka benarlah dalam aturan kewarganegaraan Daulah Madinah ketika
Rasulullah saw. menjadi kepala negara, beliau saw. hanya membedakan 2
jenis penduduk; muslim dan kafir. Begitu pula yang dilaksanakan
Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan Khalifah-khalifah setelah mereka
sampai runtuhnya Daulah Khilafah Islam Utsmaniyah tahun 1924. Artinya
pembedaan kewarganegraan adalah berdasarkan pengakuannya atas Islam,
bukan yang lain seperti fanatisme golongan atau bangsa.
Juga larangan sempurna dari Rasulullah atas sikap fanatisme golongan,
bangsa dan semacamnya yang dirangkum dalam larangan ashabiyah
ومن قاتل تحت راية عمّيّة يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة،
فقتل، فقتلة جاهليّة
Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah kerena suku,
atau menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia
terbunuh secara jahiliyah (HR Muslim)
ليس منا من دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات
على عصبية
Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah,
bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan
tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR
Abu Dawud)
Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan
karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik
(ta’ashub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena
golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah
orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan Islam menaruh ikatan
semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena pemikiran semacam ini
adalah batil.
Tapi inilah kondisi masyarakat dan ummat, mereka mempunyai cap tertentu
bagi etnis tertentu, dan akhirnya bukan melihat karena ketakwaannya
tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya karena seseorang berwajah Arab
lantas setiap bertemu tangannya dicium, karena persangkaan bahwa arab
identik dengan Islam (ironis). Hanya karena seseorang berwajah Cina
lantas diidentikkan dengan kafir? (lebih ironis), lebih aneh lagi kalau
ketemu bule semuanya serba senang, sumringah dan berjalan menunduk
(kacau).
Inilah mental-mental terjajah, mental yang sangat ridha dan bangga
kepada negara yang menjajahnya tapi lupa sama sekali dengan Tuhan yang
menciptakan dirinya dan memberinya kenikmatan. Padahal kita semua
sebagai muslim tidak diseru kecuali berpegang pada aqidah yang satu,
ikatan yang satu, perintah yang satu dan kepemimpinan yang satu. Tauhid
dalam segala bidang.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai (QS ali Imraan [3]: 103)
Seandainya saja Rasulullah masih ada, maka tentu dia akan menghapuskan
segala macam diskriminasi dan rasialisme yang diwariskan dunia Barat
kepada kaum muslim. Seandainya saja Umar bin Khattab masih ada, maka
pastilah beliau sendiri yang akan menghunus pedangnya untuk memenggal
penyeru ashabiyah. Tapi mereka telah tiada, namun bukan tanpa warisan.
Rasulullah menyiapkan sebuah sistem buat ummatnya agar ummatnya dapat
bersatu padu dan kuat dalam satu kepemimpinan di seluruh dunia. Insya
Allah saat Khilafah Islam tegak satu saat nanti, Khalifah lah yang akan
mengomando kaum muslim membunuh ashabiyah.
Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/07/30/felix-y-siauw-curahan-hati-seorang-keturunan-cina-muslim-di-indonesia/
Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/07/30/felix-y-siauw-curahan-hati-seorang-keturunan-cina-muslim-di-indonesia/